Pada
tanggal 1 Juni 1945, ketika Soekarno mempidatokan Pancasila, ia sedang
membayangkan “Weltanschauung”, sebuah pandangan hidup yang menjiwai
setiap manusia Indonesia. Dengan itu pandangan dunia itu, Soekarno berharap
perjalanan bangsanya menuju cita-cita nasionalnya punya pedoman.
Sebagai
pandangan hidup, Pancasila tentu letaknya dalam jiwa dan fikiran bangsa
Indonesia. Ia akan manifes dalam bentuk sikap (keberpihakan) dan tindakan.
Filsafat nasional itu akan selalu memilih sikap-sikap dan tindakan-tindakan
yang sejalan dengan cita-cita nasional bangsa Indonesia: masyarakat adil dan
makmur.
Tetapi
apa yang terjadi sekarang ini?
Pancasila, sejak jaman orde baru hingga sekarang ini, tidak terserap sebagai pandangan hidup. Sebaliknya, sejak orde baru pula, Pancasila telah menjadi “benda keramat” layaknya benda peninggalan sejarah di museum. Pengakuan terhadap Pancasila sebagai dasar negara sebatas pemasangan gambar atau replika garuda Pancasila.
Pancasila, sejak jaman orde baru hingga sekarang ini, tidak terserap sebagai pandangan hidup. Sebaliknya, sejak orde baru pula, Pancasila telah menjadi “benda keramat” layaknya benda peninggalan sejarah di museum. Pengakuan terhadap Pancasila sebagai dasar negara sebatas pemasangan gambar atau replika garuda Pancasila.
Pancasila
tak lagi menjadi weltanschauung bangsa Indonesia. Pancasila punya lima
prinsip dasar: Kebangsaan Indonesia; Internasionalisme,– atau perikemanusiaan;
Mufakat, – atau demokrasi; Kesejahteraan sosial; dan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Dari kelima prinsip dasar itu, adakah yang masih dijalankan oleh penyelenggara
negara?
Kita
bicara soal kebangsaan Indonesia. Jika kita mengacu kepada Otto Bauer, orang
Austria yang sering menjadi acuan Soekarno, kebangsaan didefenisikan sebagai
satu persatuan perangai yang timbul karena persatuan nasib. Dulu, persatuan
nasib itu didasarkan pada semangat melawan penjajahan.
Tapi
sekarang, masihkan ada basis persatuan nasib itu? Basis untuk persatuan nasib
itu makin tipis sekarang. Sejak orde baru hingga sekarang, proyek pembangunan
hanya menciptakan ketimpangan: ketimpangan pembangunan antar daerah dan
ketimpangan sosial diantara rakyat Indonesia sendiri.
Dalam
banyak kasus, ketimpangan itu telah memicu ketidakpuasan, bahkan kehendak
pemisahan dari negara Indonesia. Hal itu makin menguat ketika pemerintah
berkuasa merespon ketidakpuasan itu dengan pendekatan militer.
Begitu
pula dengan sila peri-kemanusiaan. Azas-azas kemanusiaan dalam masyarakat
Indonesia makin tergerus oleh liberalisme dan kapitalisme. Relasi sosial antar
manusia tidak lagi diperantarai oleh kerjasama dan solidaritas, melainkan oleh
logika mencari keuntungan dan rivalitas.
Harga-diri
manusia Indonesia juga tidak sama dihadapan negara: negara memperlakukan sangat
istimewa segelintir pemilik modal dan kaum elit, tetapi mengabaikan mayoritas
yang miskin. Ini sangat tercemin dalam penyelenggaraan hukum yang sangat
memihak kaum kaya dan kalangan elit.
Prinsip
demokrasi-mufakat juga sudah hampir terkubur. Praktisnya, hampir seluruh
kebijakan ekonomi, politik, dan sosial-budaya di negeri ini diputuskan oleh
segelintir elit berkuasa. Sementara mayoritas rakyat Indonesia telah
dilemparkan keluar dari ruang-ruang pengambilan kebijakan. Akibatnya, ada
banyak sekali kebijakan yang bertentangan dengan kepentingan rakyat, seperti
privatisasi, penghapusan subsidi, liberalisasi perdagangan, dan lain-lain.
Nasib
sila kesejahteraan/keadilan sosial justru lebih parah lagi. Sila ini bahkan
tidak pernah terwujud dalam sejarah berbangsa dan bernegara kita. Ironisnya
lagi, penyelenggara negara justru memilih sistim ekonomi-politik yang
melahirkan ketidakadilan sosial: kapitalisme.
Sumber-sumber
ekonomi, khususnya sumber daya alam, telah dikuasai oleh segelintir kapitalis
asing dan swasta nasional. Ini terjadi lantaran pemerintah kembali mengadopsi
kebijakan ekonomi berbau kolonial: neoliberalisme.
Para
pendiri bangsa kita mewariskan pasal 33 UUD 1945 sebagai sistim perekonomian
yang cocok untuk mendatangkan kemakmuran dan keadilan sosial bagi seluruh
rakyat. Akan tetapi, sejak orde baru hingga sekarang, pasal 33 UUD 1945 tidak
pernah dijalankan oleh rejim-rejim berkuasa.
Terakhir,
sila Ketuhanan Yang Maha Esa pun hampir tidak berjalan dengan baik. Kita belum
lupa bagaimana pendukung Ahmadiyah dirampas kemerdekaan dan kebebasannya
menjalankan ibadah oleh kelompok fanatik tertentu. Sampai sekarang, Jemaah HKBP
di Bogor belum bisa beribadah dengan tenang karena tempat ibadahnya disegel
oleh pemerintah setempat.
Pancasila,
yang digali para pendiri bangsa dari bumi pertiwi, tidak lagi menjadi pandangan
hidup bangsa Indonesia. Ironisnya: penyelewengan terhadap Pancasila justru
dimulai oleh para penyelenggara negara. Penyelenggara negara kita justru
mewarisi pandangan hidup jaman kolonial: keberpihakan kepada pemilik modal,
pengabdian kepada keserakahan, menjunjung tinggi korupsi, dan pengagungan
terhadap praktek kekerasan dan diskriminasi.
Sumber: BERDIKARI ONLINE
Tidak ada komentar:
Posting Komentar