Anda
tahu tentang Zombie? Ia dalam sebutan untuk mayat hidup dalam sistem
kepercayaan Voodoo. Konon, dalam kisah-kisah rakyat yang tersebar,
zombie adalah manusia yang rohnya sudah dicuri secara supranatural dan
kemudian dipekerjakan sebagai budak oleh “majikan zombie”.
Dalam
versi yang lain, zombie diceritakan sebagai mayat tak berotak dan
selalu tunduk pada keinginan majikan. Lebih parah lagi, zombie juga
menyerang dan memakan daging manusia. Dalam film-film, zombie
menyebarkan penyakit kepada orang sehat melalui cakaran dan gigitan. Ia
hanya dapat dihentikan jikalau tubuh zombie dihancurkan.
Tetapi, saat ini, zombie tidak
hanya menjadi kisah rakyat atau film-film. Dalam perpolitikan Indonesia
akhir-akhir ini, kita pun menemukan tipikal politisi berkarakter zombie:
politisi bermental budak, politisi yang tidak punya keberpihakan kepada
rakyat (kemanusiaan), dan politisi yang suka ‘memakan’ rakyatnya
sendiri.
Indonesia adalah contoh terbaik
politik zombie. Di negeri ini, anda bisa melihat ketundukan tanpa batas
para politisi kepada kekuatan dari luar: imperialisme. Padahal,
imperialisme itu telah mengorbankan kepentingan rakyat.
Lihat apa yang dikerjakan
pemerintah sekarang ini: menjalankan liberalisasi perdagangan, mencabut
subsidi sosial, memprivatisasi BUMN dan layanan publik, menerapkan pasar
tenaga kerja yang fleksibel, meliberalkan investasi asing, dan lain
sebagainya.
Seluruh kebijakan itu merugikan kepentingan nasional. Kita pun berhadapan dengan ‘horror’
luar biasa: kemiskinan meluas, pengangguran meningkat, industri dalam
negeri hancur, kekayaan nasional dikuasai oleh segelintir kapitalis
asing, rakyat tidak bisa mengakses layanan atau kebutuhan dasar, dan
lain-lain.
Rejim yang berkuasa
saat ini adalah zombie. Ia tidak bisa lagi membedakan mana kepentingan
asing dan mana kepentingan nasional. Ia juga tak lagi punya kepedulian
menjalankan konstitusi negara: UUD 1945. Rejim sekarang adalah mayat
hidup yang dikendalikan oleh ‘majikan zombie’: imperialisme.
Di
hadapan rejim zombie ini, negara tidak lagi menjadi alat untuk
memperjuangkan kesejahteraan, melainkan sebagai horror (alat kekerasan
dan teror) untuk menghentikan perlawanan rakyat. Selebihnya, negara
diarahkan untuk melayani tujuan-tujuan imperialis: melegalisasi imperialisme.
Politik zombie itu terus menular
di hampir semua institusi negara. Di parlemen, hampir semua politisi,
kendati berasal dari beragam partai politik, memiliki suara yang sama
dalam mengesahkan berbagai UU pro-neoliberal.
Di eksekutif, mulai dari pusat
hingga daerah, hampir semua terjangkiti politik zombie. Pemerintah
kita, dari pusat hingga daerah, hanya menjadi pelayan dari kepentingan
imperialisme dan kapitalis lokal. Mereka tidak segan-segan mengeluarkan
regulasi untuk mendukung kepentingan tersebut, bahkan jika regulasi itu
membunuh rakyatnya sendiri.
Di ranah penegak hukum, rasanya
kita sulit menemukan penegak hukum yang tidak terkena penyakit zombie:
mengabdi kepada uang, suka memakan hak-hak rakyat kecil, dan buta hati
terhadap nilai-nilai keadilan. Politik zombie juga nampak dari praktek
korupsi yang terus berkembang di kalangan politisi dan pejabat negara.
Para politisi dan pejabat korup itu sudah tidak punya rasa malu sebagai
“koruptor”.
Politik zombie juga hadir di
tengah-tengah media massa. Mereka mempromosikan sebuah kebudayaan yang
mengubah kaum muda menjadi “mayat mati” dihadapan konsumerisme dan
konsumtifisme. Lembaga pendidikan kita juga mulai terjangkiti oleh
horror zombie ini. Lihatlah bagaimana pendidikan tidak lagi mengabdi
kepada kemanusiaan, tetapi mulai mengabdi sepenuhnya pada logika modal:
akumulasi keuntungan.
Politik zombie ini harus
dihentikan. Tetapi politik zombie ini hanya bisa dihancurkan dengan
mobilisasi rakyat yang sadar atau—meminjam istilah Bung Karno—“massa
aksi”. Oleh karena itu, tugas kita adalah membangkitkan “massa aksi”.
Dengan kekuatan “massa aksi” itu, kita merebut kekuasaan politik. Pada
titik itulah, kekuasaan politik itu kita pergunakan untuk kepentingan
rakyat.
Sumber: BERDIKARI ONLINE
Tidak ada komentar:
Posting Komentar