Kamis, 20 Desember 2012

Pengertian Hukum Administrasi Negara


BAB I
PENDAHULUAN

I.I Latar Belakang
Berdasarkan  perspektif ilmu hukum administrasi, ada dua jenis hukum administrasi, yaitu pertama,hukum administrasi umum (allgemeem deel) , Yakni berkenaan dengan teori-teori dan prinsip-prinsip yang berlaku untuk semua bidang hukum administrasi,tidak terikat pada bidang-bidang tertentu ,

Hukum Perdata Indonesia


Bab I
 Menikmati dan Hehilangan Hak-hak Kewargaan

Hukum perdata Indonesia
Hukum adalah sekumpulan peraturan yang berisi perintah dan larangan yang dibuat oleh pihak yang berwenang sehingga dapat dipaksakan pemberlakuaanya berfungsi untuk mengatur masyarakat demi terciptanya ketertiban disertai dengan sanksi bagi pelanggarnya
Salah satu bidang hukum yang mengatur hak dan kewajiban yang dimiliki pada subyek hukum dan hubungan antara subyek hukum. Hukum perdata disebut pula hukum privat atau hukum sipil sebagai lawan dari hukum publik. Jika hukum publik mengatur hal-hal yang berkaitan dengan negara serta kepentingan umum (misalnya politik dan pemilu (hukum tata negara), kegiatan pemerintahan sehari-hari (hukum administrasi atau tata usaha negara), kejahatan (hukum pidana), maka hukum perdata mengatur hubungan antara penduduk atau warga negara sehari-hari, seperti misalnya kedewasaan seseorang, perkawinan, perceraian, kematian, pewarisan, harta benda, kegiatan usaha dan tindakan-tindakan yang bersifat perdata lainnya.

HUKUM INTERNASIONAL


BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Perkembangan dunia yang sudah melintasi batas-batas wilayah teritorial Negara lain sangat membutuhkan aturan yang jelas dan tegas agar tercipta suasana kerukunan dan kerjasa sama yang saling menguntungkan. Kerjasama dalam bentuk hubungan antara bangsa dan hubungan internasional, sangat memerlukan aturan-aturan hukum yang bersifat internasional. Hukum internasional bertujuan untuk mengatur masalah-masalah bersama yang penting dalam hubungan antara subjek-subjek hukum internasional.

Hubungan internasional ini tidak terlepas dari hubungan antara Negara dan warga Negara karena bangsa romawi sudah mengenal hukum internsional sejak tahun 89 SM. Hukum ini dikenal dengan ius civile (hukum sipil) dan ius gentium (hukum antar bangsa). Mereka membedakan dua hukum atas dasar isi dan ruang lingkup dari hukum-hukum tersebut. Dengan kata lain, ius gentium adalah hukum yang mengatur hubungan antara orang-orang romawi dan orang-orang asing.

Hukum di Indonesia


Hukum di Indonesia merupakan campuran dari sistem Hukum Eropa, Hukum Agama dan Hukum Adat. Sebagian besar sistem yang dianut, baik Perdata maupun Pidana, berbasis pada Hukum Eropa Kontinental, khususnya dari Belanda karena aspek sejarah masa lalu Indonesia yang merupakan wilayah jajahan dengan sebutan Hindia Belanda (Nederlandsch-Indie). Hukum Agama, karena sebagian besar masyarakat Indonesia menganut Islam, maka dominasi Hukum atau Syari'at Islam lebih banyak terutama di bidang perkawinan, kekeluargaan dan warisan. Selain itu, di Indonesia juga berlaku sistem Hukum Adat yang diserap dalam perundang-undangan atau Yurisprudensi, yang merupakan penerusan dari aturan-aturan setempat dari masyarakat dan budaya-budaya yang ada di wilayah Nusantara.

HUKUM ACARA PERDATA


HUKUM ACARA PERDATA

I.       PENDAHULUAN
1.1.    Pengertian Hukum Acara Perdata
Prof. Dr. Sudikno mertokusumo, SH
Hukum Acara Perdata adalah peraturan Hukum yang mengatur bagaimana cara ditaatinya Hukum perdata materiil dengan peraturan hakim. Lebih kongkrit dikatakan bahwa Hukum Acara Perdata mengatur tentang bagaimana caranya mengajukan tuntutan hak, memeriksa, memutuskan, dan pelaksanaan daripada putusannya.

Abdul kadir Muhamad
Hukum Acara Perdata adalah peraturan Hukum yang berfungsi untuk mempertahankan berlakunya Hukum perdata sebagaimana mestinya. Hukum Acara Perdata dirumuskan sebagai peraturan Hukum yang mengatur proses penyelesaian perkara perdata melalui Pengadilan(hakim), sejak diajukan gugatan sampai dengan pelaksanaan putusan hakim.

Retnowulan
Hukum Acara Perdata Hukum Perdata Formil adalah kesemuanya kaidah Hukum yang menentukan dan mengatur cara bagaimana melaksanakan hak-hak dan kewajiban-kewajiban perdata sebagaimana yang diatur dalam Hukum Perata Materiil.

R. Soesilo
Hukum Acara Perdata /Hukum Perdata Formal yaitu kumpulan peraturan-peraturan Hukum yang menetapkan cara memelihara Hukum perdata material karena pelanggaran hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang timbul dari Hukum perdata material itu, atau dengan perkataan lain kumpulan peraturan-peraturan Hukum yang menentukan syarat-syarat yang harus dipenuhi pada melangsungkan persengketaan dimuka hakim perdata, supaya memperoleh suatu keputusan daripadanya, dan selanjutnya yang menentukan cara pelaksaan putusan hakim itu.
Dari beberapa pengertian di atas bahwa Hukum Acara Perdata adalah peraturan Hukum yang memiliki karakteristik :
-     Menentukan dan mengatur bagaimana cara menjamin ditaatinya Hukum Perdata Materiil.
-     Menentukan syarat-syarat yang harus dipenuhi untuk beracara di muka persidangan pengadilan, mulai dari pengajuan gugatan, pengambilan keputusan sampai pelaksanaan putusan pengadilan.

1.2.    Sejarah Terbentuknya Hukum Acara Perdata
Tanggal 5 Desember 1846 Gubernur Jendral Ijan Jacob Rochussen member tugas kerua MA dan MA Tentara untuk membuat sebuah Reglemen bagi golongan Indonesia.
Tanggal 6 Agustus 1847 Jhr. Mr. H.L Wichers/ Ketua MA dan MA Tentara telah selesai dengan rancangannya serta peraturan penjelasannya.
Tanggal 5 April 1848, Stbl. 1848 No. 16 Rancangan Wichers diterima dan di umumkan oleh Gubernur Jendral dengan diberi nama “Het Inlands reglement” I.R. dan mulai berlaku tanggal 1 Mei 1848.

1.3.    Azas-asas Hukum Acara Perdata
1.3.1.  Pengertian
Paul Scholten mendefinisikan asas Hukum sebagai pikiran-pikiran dasar yang dapat didalam dan dibelakang system Hukum masing-masing dirumuskan dalam aturan-aturan perundang-undangan dan putusan-putusan hakim yang berkenan denganya, ketentuan-ketentuan dan keputusan-keputusan individual dapat dipandang sebagai jabarannya.
Harjono memberikan pengertian atas Hukum yang mempunyai fungsi sebagai normal pemberi nilai. Jadi dengan singkat system Hukum dibagin (secara substantive/ atas dasar nilai-nilai yang dikandung dalam asas Hukum.

1.3.   Asas-Asas Hukum Acara Perdata
Sudikno Mertokusumo Hukum Acara Perdata  menyebut ada 7 asas yaitu :

1.      Hakim Bersifat Menunggu. Pasal 118 HIR  dan Pasal 142 RBg.
Inisiatif untuk mengajukan tuntutan hak diserahkan sepeuhnya kepada yang bersangkutan. Jadi apakah aka nada proses atau tidak, apakah suatu perkara atau tuntutan hak itu akan diajukan atau tidak semua diserahkan kepada pihak yang berkepentingan, sedangkan Hakim bersifat menunggu datagnya tuntutan hak diajukan kepadanya.
Akan tetapi sekali perkara diajukan kepadanya, Hakim tidak boleh menolak untuk memeriksa dan mengadilinya, sekalipun dengan dalih bahwa Hukum tidak atau kurang jelas (Pasal 16 UU No. 4/2004). Larangan untuk menolak memeriksa perkara sebabkan anggapan bahwa hakim tahu akan hukumnya ( ius curi novit ), kalau sekiranya ia tidak dapat menemukan Hukum tertulis, maka ia wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai Hukum yang hidup dalam masyarakat (Pasal 28 UU No. 4/2004).

2.      Hakim Pasif. Pasal 178 (3) HIR dan Pasal 154 RBg.
Ruang lingkup atau luas pokok sengketa yang diajukan kepada Hakim untuk diperiksa pada dasarnya ditentukan oleh para pihak yang berperkara dan bukan Hakim. Hakim hanya membantu para pencari keadilan dan berusaha mengatasi segala hambatan dan rintangan untuk dapat tercapainya Peradilan (Pasal 28 UU No. 4/2004).
Hakim harus aktif memimpin sidang, melancarkan jalane persidangan, membantu kedua belah pihak dalam mencari kebenaran, tetapi dalam memeriksa perkara perdata hakim harus bersikap Tut wuri, hakim terikat pada peritiwa yang diajukan oleh para pihak.
Para pihak dapar secara bebas mengakhiri sendiri sengketa yang telah diajukannya ke muka pengadilan, sedangkan hakim tidak dapat menghalaginya. Hal ini dapat berupa perdamaian atau pencabutan gugatan (Pasal 130 HIR, 154 RBg).
Hakim wajib mengadili semua gugatan dan larangan menjatuhkan putusan atas perkara yang tidak di tuntut, atau mengabulkan lebih dari yang di tuntut (Pasal 178 ayat 2 dan 3 HIR, Pasal 189 ayat 2 dan 3 RBg.) apakah yang bersangkutan mengajukan banding atau tidak itupun bukan kepentingan Hakim (Pasal 6 UU No. 20/1047, Pasal 199 RBg).

3.      Sifat Terbuka Persidangan. Pasal 19 (1) dan Pasal 20 UU No. 4 Tahun 2004.
Bahwa setiap orang dibolehkan hadir, mendengar, dan menyaksikan pemeriksaan persidangan (kecuali di tuntut lain oleh UU). Tujuannya adalah untuk memberi perlindungan hak-hak asasi manusia dalam bidang peradilan serta untuk lebih menjamin obyektifitas peradilan dengan pertanggungjawaban pemeriksaan yang fair, tidak memihak serta putusan yang adik kepada masyarakat, (Pasal 19 ayat 1 UU No. 4/2004).
Namun ada juga persidangan yang sifatnya tertutup, misalnya perkara perceraian, akan tetapi sidang pembacaan putusan harus terbuka, jika tidak dinyatakan terbuka untuk umum keputusan itu tidak sah dan tidak mempunyai kekuatan hukuk serta mengakibatkan batalnya putusan itu menurut Hukum.

4.      Mendengan Kedua Belah Pihak.  Pasal 5 (1) UU No. 4/2004 dan Pasal 132a, 121 (2) HIR dan Pasal 145 (2), 157 RBg serta Pasal 47 RV.
Bahwa kedua belah pihak haruslah diperlakukan sama, tidak memihak dan didengar bersama-sama. Bahwa Pengadilanmengadili menurut Hukum dengan tidak membeda-bedakan orang (Pasal 5 UU No. 4/2004).
Bahwa hakim tidak boleh menerima keterangan dari salah satu pihak sebagai benar, bila pihak lawan tidak didengar dan diberi kesempatan  untuk mengeluarkan pendapatnya, hal itu berarti juga bahwa pengajuan alat bukti harus dilakukan di muka sidang yang dihadiri oleh kedua belah pihak (Pasal 132a, 121 Yt 2 HIR, Pasal 145 ayat 2, 157 RBg dan Pasal 47 Rv).

5.      Putusan Harus Disertai Alasan-alasan. Pasal 25 UU No. 1/2004 Pasal 184 (1), 319 HIR dan Pasal 195, 618 RBg.
Semua putusan hakim harus memuat alasan-alasan putusan yang dijadikan dasar untuk mengadili (Pasal 25 ayat 1 UU No.4/2004, Pasal 184 ayat 1, 319 HIR, Pasal 195, 618RBg).
Betapa pentingnya alasan-alasan sebagai dasar putusan dapat kita lihat dari beberapa putusan MA yang menetapkan, bahwa putusan yang tidak lengkap atau kurang cukup dipertimbangkan merupakan alasan untuk kasasi dan harus dibatalkan.

6.      Beracara dikenakan Biaya, Pasal 4 (2), 5 (2) UU No. 4/2004. Pasal 121 (4), 182, 183 HIR, Pasal 145 (4), 192 RBg, kecuali Pasal 237 HIR, Pasal 273 RBg. Untuk berperkara pada asanya dikenakan biaya (Pasal 4 ayat 2,5 ayat 2 UU No. 4/2004).
Biaya perkara ini meliputi biaya kepaniteraan dan biaya untuk penggalian pemberitahuan para pihak serta biaya materai. Disamping itu apabila diminta bantuan seorang pengacara maka harus pula dikeluarkan biaya.
Bagi mereka yang tidak mampu untuk membayar biaya perkara, dapat mengajukan perkara secara Cuma-Cuma (Pro Deo) dengan mendapatkan ijin untuk dibebaskan dari pembayaran biaya perkara, dengan mengajukan surat keterangan tidak mampu yang dibuat oleh Kepala Polisi (Pasal 237 HIR, 237 RBg). Akan tetapi dalam praktek surat keterangan tidak mampu dibuat oleh Camat daerah tempat tinggal yang berkepentingan.



7.      Tidak ada keharusan mewakilkan. Pasal 123 HIR, 147 RBg.
HIR tidak mewajibkan para pihak untuk mewakili kapada orang lain, sehingga pemeriksaan dipersidangan terjadi secara langsung terhadap para pihak yang langsung berkepentingan. Akan tetapi para pihak dapat dibantu atau diwakili oleh kuasanya kalau dikehendakinya (Pasal 123 HIR, 147 RBg).

Setiawan menyebutkan ada 8 asas yaitu :
1.    Asas kesederhanaan. Pasal 4 (2), 5 (2) UU No. 4/2004
2.    Pengadilanmengadili menurut Hukum dengan tidak membedakan orang, Pasal 5 (1) UU No. 4/2004.
3.    Hakim aktif memimpin proses. Pasal 132 HIR, Pasal 156 RBg.
4.    Memberikan perlakuan yang sama  kepada para pihak yang berperkara.
5.    Para pihak memiliki kedudukan yang sama.
6.    Suatu putusan Pengadilanharus diberi suatu pertimbangan yang cukup.
7.    Penyelesaian perkara dalam waktu yang pantas.
8.    Hukum acara itu sendiri bukan tujuan.

1.4.   Sumber Hukum Acara Perdata
A.   Pengertian Sumber Hukum Acara Perdata
Secara sederhana Sumber Hukum adalah segala sesuatu yang dapat menimbulkan aturan dan tepat ditemukannya aturan-aturan Hukum.

B.   Macam-macam Sumber Hukum Acara Perdata
1.    Peraturan Perundang-undangan
a.    HIR : Het Herzein Indonesisch Reglement Stb. 1848 No. 16 Jonto Stb, 1941 No. 44 berlaku untuk daerah jawa dan Madura.
b.    RBg : Rechtsreglement Buitengewesten Stb. 1927 No. 227 Untuk luar jawa dan Madura.
c.    BW Buku ke IV : Burgelijke  Wetboek Voor Indonesisch
d.    RV : Reglement op de Burgelijk Rechtsvordering Stb. 1847 No. 52 Jo. Stb. 1849 No. 63 Hukum Acara Perdata untuk golongan eropa.
e.    UU No. 20/1947, UU tentang Peradilan Ulangandi Jawa dan Madura.
f.     UU No. 04/2004, UU tentang Kekuasaan Kehakiman.
g.    UU No. 14/1985 Jo, UU No. 5/2004.
h.    UU No. 2/1986 Jo, UU No. 8/2004 UU tentang Lingkungan Peradilan Umum.
i.      UU No. 7/1989 UU tentang Peradilan Agama.
j.      UU No. 1/1974 dan PP No. 9/1975
k.    PERMA dan SEMA.

2.     Yurisprudensi
3.     Adat kebiasaan yang dianut oleh para hakim dalam melakukan Pemeriksaan Perkara Perdata.
4.     Doktrin
5.     Perjanjian International
Perjanjian kerjasama di bidang peradilan antara RI dan Kerajaan Thailand.


II.      BADAN PERADILAN UMUM DAN KHUSUS
A.   Susunan Badan Peradilan Umum dan Khusus.


 










Kekuasaan Kehakiman dilaksanakan :
1.      Mahkaman Agung dan Badan Peradilan yang ada dibawahnya : Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan Tata Usaha Negara, Peradilan Militer.
2.      Mahkamah Konstitusi
Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk :
-       Menguji UU terhadap UUD
-       Memutuskan sengketa kewenangan lembaga Negara yang kewenangannya diberikan UUD
-       Memutus pembubaran Partai Politik
-       Memutus sengketa hasil Pemilu.

(Pasal 24 ayat 2 UUD 1945 ; Pasal 10 UU No. 4/2004; Pasal 12 UU No.4/2004; Pasal 2 UU NO.4/2004).

Kekuasaan Kehakiman (UU No. 4/2004
Pasal 1          :                         Kekuasaan Kehakiman adalah kekuasaan Negara yang merdeka.
Pasal 4          :                         Peradilan dilakukan “Demi keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”
Pasal 8          :                         “Asas Praduga tak bersalah”
Pasal 10        :                         Kekuasaan Kehakiman dilakukan oleh sebuah MA dan badan Peradilan yang ada dibawahnya dan oleh sebuah MK.
Pasal 12        :                         MK berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk :
-     Menguji UU terhadap UUD 1945.
-     Memutus Sengketa kewenangan lembaga Negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD Negara RI 1945.
-     Memutus pembubaran Parpol dan
-     Memutus Perselisihan tentang hasil Pemilu.
Pasal 16        :                         Pengadilantidak boleh menolak untuk memeriksa dan mengadili suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa Hukum tidak atau kurang jela, melainkan wajib untuk memeriksa dan  mengadilinya.
Pasal 11        :                         MA Berwenang menguji Peraturan Perundang-undangan di bawah ayat 2.b UU terhadap UU.
Pasal 19        :                         Sidang Pemeriksaan Pengadilanadalah terbuka untuk umum, kecuali UU menentukan lain.
Pasal 28        :                         Hakim wajib Menggali,mengikuti dan memahami nilai-nilai Hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.
Pasal 20        :                         Semua peraturan Peradilan hanya sah dan mempunyai kekuatan Hukum apabila di ucapkan dalam sidang terbuka untuk umum.
Pasal 37        :                         Setiap orang yang tersangkut perkara berhak memperoleh bantuan Hukum.


B.   Kekuasan Peradilan Umum dan Khusus.
1.      Kekuasan Peradilan Umum (UU No.2/1986 & UU No. 8/2004
-     Kekuasaan Kehakiman di lingkungan Peradilan Umum dilaksanakan oleh PengadilanTinggi (Pasal 3 UU No. 2/1986).
-     PengadilanNegeri bertugas dan berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara pidana dan perdata di tingkat pertama (Pasal 50 UU No. 2/1986).
-     PengadilanTinggi bertugas dan berwenang mengadili perkara pidana dan perfata di tingkat banding (Pasal 51 (1) dan mengadili tingkat pertama dan terakhir sengketa kewenangan mengadili  antara PN dan daerah hukumannya (Pasal 51 (2) UU No.2/1986).

2.      Kekuasaan PengadilanAgama (UU No. 7/1989 Jo, UU No.3/2006)
Pasal 49 UU No.3/2006 :
-     PengadilanAgama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara-perkara ditingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam dibidang :

a.    Perkawinan :
Perkawinan adalah hal-hal yang diatur dalam atau berdasarkan Undang-undang Perkawinan yang berlaku dan dilakukan menurut syari’ah (Penjelasan UU No. 3 Tahun 2006 Pasal 49).

b.    Kewarisan :
Waris adalah penentuan siapa yang menjadi ahli waris, penentuan mengenai harta peninggalan, penentuan bagian masing-masing ahli waris, dan melaksanakan pembagian harta peninggalan tersebut, serta penetapan Pengadilanatas permohonan seseorang tentang penentuan siapa yang menjadi ahli waris, penentuan bagian masing-masing ahli waris.
c.    Wasiat :
Wasiat adalah perbuatan seseorang memberikan suatu benda atau manfaat kepada orang lain atau lembaga badan Hukum, yang berlaku setelah yang member tersebut meningal dunia.
d.    Hibah :
Hibah adalah pemberian suatu benda secara sukarela dan tanpa imbalan dari seseorang atau badan Hukum kepada orang lain atas badan Hukum untuk dimiliki.
e.    Wakaf :
Wakaf adalah perbuatan seorang atau sekelompok orang (wakif) untuk memisahkan dan atau menyerahkan sebagian harta benda miliknya untuk dimanfaatkan selamanya atau untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan kepentingannya guna keperluan ibadah dan/atau kesejahteraan umum menurut syari’ah.
f.     Zakat :
Zakat adalahharta yang wajib disisihkan oleh seorang muslim atau badan Hukum yang memiliki oleh orang islam sesuai dengan ketentuan syari’ah untuk diberikan kepada orang yang berhak menerimanya.
g.    Infaq :
Infaq adalah perbuatan seseorang memberikan sesuatu kepada orang lain guna menutupi kebutuhan, baik berupa makanan, minuman, mendermakan, memberikan risky (karuania) atau menafkahkan sesuatu kepada orang lain berdasarkan rasa ikhlas, dank arena Allah S.W.T.
h.    Shodagoh dan
i.      Ekonomi Syari’ah.

-     PengadilanTinggi Agama Kewenangannya diatur dalam Pasal 51 ayat 1 dan 2 UU No. 7/1989.

C.   Kekuasaan PengadilanTUN (UU No. 5/1986 & UU No. 9/2004)
-     Kewenangan PTUN diatur dalam Pasal 47 UU no. 5/1986 Sengketa TUN.
-     Kewenangan PTUN diatur dalam Pasal 51 UU no. 5/1986

D.   Kekuasaan Peradilan Militer.
-     UU No. 31 Tahun 1997

E.   Kekuasaan MA (UU No. 14/1985 Jo. UU No.5/2004)
-     MA Bertugas dan berwenang memeriksa dan memutuskan :
1.  Permohonan Kasasi.
2.  Sengketa tetang kewenangan mengadili.
3.  Permohonan meninjauh kembali putusan Pengadilanyang yelah memperoleh kekuatan Hukum tetap (Pasal 28 UU No.14/1985)

-     MA dalam tingkat kasasi membatalkan putusan datau penetapa Pengadilandari semua lingkungan peradilan karena :
1.  Tidak berwenang dan melampaui batas wewenang.
2.  Salah menerapkan atau melanggar Hukum yang berlaku.
3.  Lalai memenuhi syarat-syarat yang diwajibkan oleh Peraturan Perundang-Undangan yang mengancam kelalaian itu dengan batalnya putusan yang bersangkutan (Pasal 30 ayat 1 UU No. 5/2004).

F.    Kompetensi/ Kewenangan Mengadili
Hukum Acara Perdata mengenal dua macam kewenangan yaitu :
1.      Kewenangan Mutlak/ Absolut.
2.      Kewenangan Relative/ NISBI Pasal 133 HIR, Pasal 159 RBg, Pasasl 136 HIR ataun 162 RBg, menyangkut pembagian kekuasaan mengadili antar Pengadilanyang serupa tergantung dari tempat tinggal tergugat, azasnya adalah yang berwenang adalah PengadilanNegeri tempat tinggal tergugat, azas ini dengan bahasa latin dikenal “Actor Sequitoir Forum Rei”.

Terhadap azas diatas terdapat beberapa pengecualian, misalnya yang terdapat dalam Pasal 118 HIR dan 142 RBg.
1.      P.N. tenpat kediaman Tergugat, bila tempat tingal tergugat tidak diketahui.
2.      Jika tergugat 2 orang atau lebih, gugat diajukan pada tempat tinggal salah satu tergugat, terserah pilih Penggugat.
3.      Akan tetapi dalam ad. 2 diatas, bila pihak tergugat ada 2 orang, yang seorang berhutang, dan yang lainnya penjaminnya, maka gugatan harus di P.N tempat tinggal yang berhutang.
4.      Bila tempat tingal dan tempat kediaman, tergugat tidak dikenal, gugatan diajukan kepada P.N tempat tinggal penggugat atau dari salah seorang dari Penggugat.
5.      Dalam ad.4 gugatan mengenai barang tetap, dapat juga diajukan melalui P.N dimana barang tetap itu terletak, hal ini berbeda dengan ketentuan Pasal 99 (8) RV dan Pasal 142 (5) RBg. Dalam hal gugat menyangkut barang tetap gugat diajukan di P.N di mana barang tersebut terletak.
6.      Bila ada tempat tinggal yang dipilih dengan suatu akta, gugatan diajukan sesuai dengan akta, bila penggugat mau, ia dapat mengajukan gugat di tempat tinggal tergugat.

Pengecualian lain misalnya yang terdapat :
1.      Pasal 21 BW, jika Tergugat tidak cakap, maka gugatan diajukan di P.N tempat tinggal orang tua, wali atau Pengampu, Pasal 20 BW, Jika tergugat PNS gugatan diajukan di P.N dimana ia bekerja atau dinas. Pasal 22 BW, gugatan terhadap buruh yang tinggal di rumah majikan, maka gugatan di ajukan di mana majikannya tinggal.
2.      Pasal 99 ayat 15 RV, Gugatan kepailitan diajukan di P.N yang menyatakan tergugat pailit.
3.      Pasal 99 ayat 14 RV, Gugatan Vrijwaring/ Penjaminan (Gugatan Interfensi) di ajukan di P.N yang sedang memeriksa gugatan asal.
4.      Pasal 38 ayat 1 dan 2 PP No. 9/1975 : Gugatan pembatalan perkawinan dapat diajukan di Pengadilantempat berlangsungnya perkawinan itu.
5.      Pasal 20 ayat 2 dan 3 Pp No. 9/1975 : Gugatan perceraian diajukan di P.N tempat tinggal penggugat, bila tergugat diam di liar negeri.




Pasal 17 BW :
-       Setiap orang dianggap punya tempat tinggalnya dimana ia menempatkan pusat kediamannya.
-       Dalam hal tak ada tempat, maka tempat kediaman sewajarnya dianggap sebagai tempat tinggal.

Pasal 118 ayat 1 HIR :
Gugatan perdata, yang pada tingkat pertama, masuk kekuasaan P.N, harus dimasukkan dengan surat permintaan yang di tandatangani oleh Penguggat atau oleh wakilnya menurut P{asal 123, kepada Ketua P.N didaerah Hukum siapa yang tergugat bertempat diam atau jika tidak diketahui tempat diamnya, tempat tinggalnya sebetulnya.

Pasal 66 (2) UU No.7/1989 :
-        Pengajuan cerai talaq diajukan ke Pengadilan tempat kediaman termohon, Pasal 73 (1) UU No.7/1989.

Pasal 73 (1) UU No.7/1989 :
-        Gugatan Perceraian/ cerai gugat diajukan kepada Pengadilan tempat kediaman tempat penggugat, kecuali apabila penggugat dengan sengaja meninggalkan kediamannya bersama tanpa ijin tergugat.


III.     SURAT KUASA KHUSUS
A.     Kuasa Pada Umumnya
1.     Pengertian Kuasa Secara Umum.
Pasal 1792 KUH Perdata sebagai berikut :
Pemberian kuasa adalah suatu persetujuan dengan mana seorang memberikan kekuasaan kepada seorang lain, yang menerimanya, untuk dan atas namanya menyelenggarakan suatu urusan.
Dalam perjanjian kuasa terdapat dua pihak, yaitu :
-     Pemberi Kuasa/ Latsgever/ instrucilon/ mandate.
-     Penerima Kuasa/ Kuasa/ yang diberi perintah atau mandate melakukan sesuatu untuk dan atas nama pemberi kuasa.

2.     Sifat Perjanjian Kuasa.
Pasal 1792 dan 1793 (1) BW terdapat beberapa sifat pokok, yaitu :
a.  Penerima kuasa langsung berkapasitas sebagai wakil pemberi kuasa.
b.  Pemberi kuasa bersifay konsensual.
c.   Berkarakter garansi – kontrak Pasal 1806 BW.

3.     Berakhirnya Kuasa – Pasal 1813 BW.
a.  Pemberi kuasa mnarik kembali secara sepihak (diatur lebih lanjut dalam Pasal 1814 BW dan 1819 BW).
b.  Salah satu pihak meninggal dunia Pasal 1813 BW.
c.   Penerima kuasa terlepas kuasa.

Pasal 1817 BW member hak secara sepihak kepada kuasa untuk melepaskan kuasa yang diterimanya dengan syarat :

-     Harus memberitahu kehendak pelepasan itu kapada pemberi kuasa.
-     Pelepasan hak tidak boleh dilakukan pada saat yang tidak layak.

4.     Dapat Disepakati Kuasa Mutlak.
Dalam lalu lintas pergaulan Hukum telah memperkenalkan dan membenarkan pemberian kuasa mutlak, perjanjian kuasa seperti ini diberi judul “Kuasa Multak” yang memuat klausul :
-     Pemberi kuasa tidak dapat mencabut kembali kuasa yang memberikan kepada penerima kuasa.
-     Meninggalnya pemberi kuasa, tidak mengakhiri perjanjian pemberi kuasa.

Diperbolehkannya membuat persetujuan Kuasa mutlak bertitik tolak dari prinsip kebebasan berkontrak ( Pasal 1338, sepanjang tidak bertentangan dengan Pasal 1337 BW).

B.     Macam-macam Surat Kuasa
1.     Kuasa umum diatur Pasal 1795 BW, menurut Pasal ini, kuasa umum bertujuan memberikan kuasa kepada seorang untuk mengurus kepentingan pemberi kuas, yaitu :
-     Melakukan tindakan pengurusan harta kekayaan mandate.
-     Pengurusan itu, meliputi segala sesuatu yang berhubungan dengan pemberi kuasa atas harta kekayaannya.
-     Dengan demikian titik berat kuasa umum, hanya meliputi perbuatan atau tindakan pengurusan kepentingan pemberi kuasa.

2.     Kuasa Istimewa
Pasal 1796 BH mengatur perihal pemberi kuasa istimewa, selanjutnya ketentuan pemberian kuasa istimewa dapat dikaitkan dengan ketentuan Pasal 157 HIR dan Pasal 184 RBg. Jika ketentuan pasal-pasal ini dirangkai diperlukan beberapa syarat yang harus dipenuhi agar kuasa tersebut sah menurut Hukum sebagai kuasa Hukum  istimewa.
a.    Bersifat limitative.
b.    Harus berbentuk akta otentik.

3.     Kuasa Perantara.
Pasal 1792 BW dan Pasal 62 KUHD yang dikenal dengan agen perdagangan atau makelar, disebut juga broker atau perwakilan dagang.
4.     Kuasa Khusus (Pasal 123 HIR & Pasal 147 RBg serta SEMA No.01/1971).
Pasal 123 HIR atau Pasal 147 RBg dan SEMA No.01/1971, mengatur berbagai hal yang terkait dengan Surat Kuasa Khusus tersebut misalnya :
-     Surat kuasa khusus dapat dibuat secara dibawah tangan atau secara otentik.
-     Surat kuasa khusus harus menyebutkan identitas pemberi dan penerima kuasa.
-     Harus menyebutkan nomer perkara, bila sudah ada.
-     Pengadilan mana dan dimana.
-     Perihal apa dan untuk apa surat kuasa diberikan.
-     Bila ada rekonvensi dalam surat kuasa harus sudah menyebut dengan tegas.
-     Harus menyebut subyek dan obyek.
-     Harus bermaterai secukupnya.
-     Dll.


IV.    GUGATAN DAN PERMOHONAN
A.     Gugatan Kontentiosa/ Gugatan Perdata/ Gugatan/ Gugat.
1.  Pengertian
Gugatan Kontentiosa adalah gugatan perdata yang mengandung sengketa diatara pihak yang berperkara yang pemeriksaan penyelesaiannya diberikan kepada pengadilan dengan posisi para pihak :
-     Yang mengajukan penyelesaian sengketa disebut dan bertindak sebagai penggugat.
-     Sedangkan yang ditarik sebagai pihak lawan dalam penyelesaian disebut dan berkedudukan sebagai tergugat.
-     Permasalahan Hukum yang diajukan ke Pengadilan mengandung sengketa.
-     Sengketa terjadi diantara para pihak.
-     Berarti gugatan perdata bersifat partai.

2.  Bentuk Gugatan.
a.  Bentuk lisan (Pasal 120 HIR/ Pasal RBg).
Syarat formil gugatan lisan : bila penggugat tidak bisa membaca dan menulisan.
Cara pengajuan gugatan lisan :
-     Diajukan dengan lisan
-     Kepada Ketua PN dan
-     Menjelaskan dan menerangkan isi dan maksud gugatan.

Fungsi Ketua PN
-     Ketua PN wajib memberikan layanan.
-     Pelayanan yang harus diberikan Ketua PN.
-     Mencatat dan menyuruh catatan gugatan yang disampaikan penggugat.
-     Merumuskan sebaik mungkin gugatan itu dalam bentuk tertulis sesuai dengan yang diterangkan oleh penggugat.

Sehubungan dengan ini Ketua PN pperlu diperhatikan putusan MA tentang ini yang menegaskan “adalah tugas Hakim Pengadilan Negeri untuk menyempurnakan gugatan tulisan tersebut dengan jalan melengkapinya dengan petitum, sehingga dapat mencapai apa sebetulnya yang dimaksud dengan opeh Penggugat.
b.  Bentuk Tulisan.
Gugatan yang paling diutamakan adalah gugatan dalan bentuk tertulis. (Pasal 118 ayat 1 HIR, Pasal 142 RBg dan yang berhak dan berwenang membuat dan mengajukan gugatan perdata adalah :
-     Penggugat sendiri (Pasal 118 ayat 1 HIR)
-     Kuasa/ wakil (Pasal 123 ayat 1 HIR)

3.  Formulasi Surat Gugatan
a.    Ditujukan kepada Ketua PN sesuai dengan kopetensi relative.
b.    Diberi tanggal
c.    Ditandatangani oleh penggugat atau kuasa.
d.    Identitas para pihak.
-     Nama lengkap.
-     Alamat/ tempat tinggal
-     Penyebutan identitas lain tidak imperative.

e.    Alamat/ tempat tinggal.
Mengenai perumusan Posita gugatan muncul 2 teori yaitu :

(1)   Substcntierings Theorie : dalil dugagatan tidak cukup hanya merumuskan peristiwa Hukum yang menjadi dasar tuntutan, tetapi juga harus dijelaskan fakta-fakta yang mendahului peristiwa Hukum yang menjadi penyebab timbulnya peristiwa Hukum tersebut.
(2)   Teori Individualisasi (individualisering theorie) : peristiwa atau kejadian Hukum yang dikemukakan dalam gugatan, harus dengan jelas memperlihatkan hubungan Hukum yang menjadi dasar tuntutan, namun tidak perlu di kemukakan dasar dan sejarah terjadinya hubungan Hukum, karena hal itu dapat diajukan berikutnya dalam proses permeriksaan sidang pengadilan.

Unsur Fundamentum Petendi/ Posita Gugatan :
(1)  Posita berdasarkan fakta.
(2)  Posita berdasarkan Hukum.

f.     Petitum Gugatan : hal-hal yang diminta agar diputuskan oleh hakim.

Bentuk Petitum sebagai berikut :
(1)   Bentuk tunggal
Petitum yang hanya menyantumkan mohon keadilan atau ex-acquo (mohon keadilan)
-     Tidak memenuhi syarat formil dan meteriil Petitum.
-     Akibat hukumnya, gugatan dianggap mengandtng cacat formil, sehingga gugatan harus dinyatakan tidak diterima.
(2)   Bentuk Alternatif


4.  Tata Cara Pemeriksaan Gugatan Kontentiosa.
a.     Sistem Pemeriksaan Secara Contradictoir
1.    Dihadiri oleh kedua belah pihak secara in person atau kuasa.
2.    Proses pemeriksaan berlangsung secara optegnspraak proses pemeriksaan perkara berlangsung dengan saling sanggah menyanggah baik dalam bentuk replik-duplik maupun konklusi.

b.     Asas Pemeriksaan.
1.    Mempertahankan tata Hukum perdata. Hakim berperan dan bertugas untuk menegakkan kebenaran dan keadilan.
2.    Menyerahkan sepenuhnya kewajiban mengemukakan fakta dan kebenaran kepada para pihak.
3.    Tugas hakim menemukan kebenaran formil.
4.    Persidangan terbuka untuk umum.
5.    Aiudi Alterem Partem ( Pemeriksaan persidangan harus mendengar kedua belah pihak secara seimbang).
6.    Asas Imparsialitas
Mengandung pengertian luas yaitu :
-       Tidak memihak.
-       Bersikap jujur dan adil.
-       Tidak bersikap diskriminatif.

5.  Pengecualian Terhadap Acara pemeriksaan Contradictoir
a.    Dalam proses Verstek.
b.    Gugatan gugur.

6.  Pencabutan Gugatan (Pasal 271-272 RV)
a.    HIR dan RBg. Tidak mengatur pencabutan gugatan.
b.    Pencabutan gugatan merupakan hak penggugat
1.    Pencabutan mutlak hak penggugat selama pemeriksaan belum berlangsung.
2.    Atas persetujuan tergugat apabila pemeriksaan telah berlangsung.

c.    Cara pencabutan
1.    Yang berhak melakukan pencabutan adalah penggugat sendiri secara pribadi atau kuasanya.
2.    Pencabutan gugatan yang belum diperiksa dilakukan dengan surat.
3.    Pencabutan gugatan yang sudah diperiksa dilakukan dalam sidang.

7.  Komulasi Gugatan/ Penggabungan Gugatan.
1.    Pengertian
Kumulasi gugatan adalah penggabungan lebih dari satu tuntutan hukuk kedalam satu gugatan.
2.    Tujuan penggabungan Gugatan.
a.    Mewujudkan peradilan sederhana.
b.    Menghindari putusan yang saling bertentangan.

3.    Syarat Penggabungan.
a.    Terdapat hubungan erat.
b.    Terdapat hubungan Hukum.

4.    Bentuk Penggabungan.
a.    Kumulasi subyektif
b.    Kumulasi Obyektif

5.    Pengabungan yang tidak dibenarkan :
a.    Pemilik obyek gugatan berbeda.
b.    Gugatan yang digabungkan tunduk pada Hukum acara yang berbeda.
c.    Gugatan tunduk pada kompetensi absolute yang berbeda.
d.    Gugatan rekonvensi tidak ada hubungan dengan gugatan kovensi.


6.    Penggabungan gugatan cerai dengan pembagian harta bersama diataur dalam Pasal 86 (1) UU No.7/1989, dalam hal ini diperkenankan.
A, B, dan C menggugat DEF dalam hal warisan juga ternyata DEF punya hutang bersama pada A, B, dan C dalam hal ini, komulasi gugat diperkenankan.
Penggugat (A) bertindak sebagai wali dan anaknya yang belum dewasa menggugat (B), kemudian digabungkan dengan gugatan mengenai utang pribadi (B) kepada (A), dalam hal ini komulasi gugat tidak diperkenankan.

8.  Perubahan Gugatan.
a.    HIR tidak mengatur, sehingga Hakim leluasa menentukan. Sebagai patokan dapat dipergunakan ketentuan bahwa perubahan atau penambahan gugat diperkenankan asalkan kepentingan penggugat terutama tergugat jangan sampai dirugikan.
b.    MA dalam putusannya tanggal 6 Maret 1971 No. 209 K/SIP/1970 menentukan bahwa suatu perubahan tuntutan tidak bertentangan dengan asas-asas Hukum secara perdata, asalkan tidak merubah atau menyimpang dari kejadian meteriil walaupun tidak ada tuntutan subsidair untuk peradilan yang adil, terutama dalam yurisprudensi Indonesia, penerbit I, II, III, IV.1972 hal. 470 MA RI.
c.    Perubahan gugatan dilarang dilarang apabila berdasar atas keadaan Hukum yang sama domohon pelaksanaan suatu hak yang lain. Misalnya :
1.    Semula dimohon ganti rugi berdasar ingkar janji gugat dirubah, berdasar ingkar janji agar tergugat dipaksa untuk memenuhi janjinya.
2.    Semula dasar gugatan perceraian adalah peryizinahan, kemudian dirubah dasar gugatan menjadi keretakan yang tidak dapat diperbaiki.
d.    Penggugat berhak merubah atau mengurangi tuntutannya sampai saat perkara diputus, tanpa boleh merubah atau menambah pokok gugatannya (pasal 127 RV).
e.    Yurisprudensi No. 1043 K/SIP/1971, Perubahan surat gugatan diperbolehkan asal tidak mengakibatkan perubahan Posita dan tergugat tidak dirugikan haknya membela diri.

B.     Gugatan Rekonvensi
1.    Pengertian Gugatan Rekonvensi.
Pasal 132 ayat (1) HIR hanya memberikan pengertian singkat. Maknanya menurut pasal ini adalah sebagai berikut :
-        Rekonvensi adalah gugatan yang diajukan tergugat sebagai gugatan balasan terhadap gugatan yang diajukan penggugat kepadanya, dan
-        Gugagatan Rekonvensi itu, diajukan tergugat kepada PN, pada saat berlangsung proses pemeriksaan gugatan yang diajukan penggugat;
Contoh :
A menggugat B untuk menyerahkan tanah yang telah dibelinya dari B sesuai dengan transaksi jual beli yang dibuat di PPAT. Terhadap gugatan itu Pasal 032 ayat (1) HIR member hak kepada B mengajukan gugatan rekonvensi terhadap A untuk melunasi pembayaran yang masih tersisa ditambah ganti rugi bunga atas perbuatan Wanprestasi yang dilakukannya.

2.    Komposisi Para Pihak Dihubungkan Dengan Gugatan Rekonvensi.
Dalam keadaan normal, komposisi para pihak dalam gugatan biasa terdiri dari :
-        Pengugat sebagai pihak yang berinisiatif mengajukan gugatan.
-        Tergugat sebagai pihak yang ditarik dan di dudukan sebagai orang digugat.
-        Gugatan hanya tunggal derdiri dari gugatan yang diajukan penggugat saja.
-        Oleh karena itu dasar dan landasan pemeriksaan perkara, di sidang pengadilan sepenuhnya bertitik tolak dari gugatan penggugat tersebut.


a.    Komposisi Gugatan.
Dengan adanya gugatan rekonvensi, komposisi gugatan menjadi :
1.    Gugatan penggugat disebut gugatan rekonvensi yang bermaksa sebagai gugatan asal yang ditunjukan penggugat kepada tergugat.
2.    Gugatan tergugat disebut gugatan rekonvensi yang bermakna gugatan balik yang ditujukan tergugat kepada tergugat.

b.    Komposisi Para Pihak.
Selain muncul dan saling berhadapan gugatan konvensi dan rekonvensi, serta merta hal itu menimbulkan komposisi yang menempatkan para pihak dalam kedudukan :
-     Penggugat asal sebagai penggugat Konvensi pada saat yang bersamaan berkedudukan menjadi Tergugat Rekonvensi terhadap gugatan Rekonvensi.
-     Penggugat asal sebagai Tergugat Rekonvensi pada saat yang bersamaan berkedudukan sebagai Tergugat Konvensi.

c.    Gugatan Rekonvensi Bersifat Eksepsional.
1.    Prinsip Umum gugatan adalah : setiap gugatan yang diajukan seseorang kepada orang lain, memiliki sifat individual yang terpisah dan berdiri sendiri dari gugatan yang lain.
Pasal 121 (1) HIR atau Pasal 1 Rv :
-     Setiap gugatan di register dan diberi nomer terdiri oleh Panitera dalam buku yang disediakan untuk itu;
-     Pendaftaran perkara dalam buku register dilakukan dengan tertib dan cermat dengan mencantumkan seluruh data gugatan yang bersangkutan.
-     Selanjutnya Ketua PN atau Ketua Majelis menentukan hari sidang pemeriksaan perkara dengan jalan memanggil para pihak.

2.    Gugatan Rekonvensi mengenyampingkan ketentuan Pasal 121 (1) tersebut diatas, hal ini bisa dilihat dati ketentuan Pasal 132a HIR memberikan hak kepada tergugat melakukan komulasi gugatan Rekonvensi dengan gugatan konvensi dalam proses pemeriksaan gugatan perkara yang sedang berjalan :
-     Mengajukan gugatan Rekonvensi sebagai gugatan balik atas gugatan penggugat, dan
-     Gugatan Rekonvensi itu dikomulasi Tergugat dengan gugatan konvensi penggugat.

d.    Tujuan Gugatan Rekonvensi.
-        Menegakkan Asas Peradilan Kesederhanaan.
-        Menghemat biaya dan waktu.

e.    Syarat Materiil Gugatan Rekonvensi.
1.    Undang-undang Tidak Mengatur Syarat Materiil.
Tidak ada ketentuan syarat materiil, Pasal 132a HIR hanya berisi penegasan, bahwa :
-       Tergugat dalam setiap perkara berhak mengajukan gugatan Rekonvensi;
-       Tidak disyaratkan antara keduanya mesti mempunyai hubungan yang erat atau koneksitas yang substansial.

2.    Praktek Peradilan cenderung masyarakat koneksitas
Gugatan Rekonvensi baru dianggap sah dan dapat diterima untuk diakumulasi dengan Konvensi apabila terpenuhi syarat :
-       Terdapat factor pertautan hubungan mengenai dasar Hukum dan kejadian yang relevan antara gugatan konvensi dan Rekonvensi.
-       Hubungan pertautan itu harus sangat erat sehingga penyelesaiannya dapat dilakukan secara efektif da;a, satu proses dan putusan.

f.     Syarat Formil Gugatan Rekonvensi
1.      Gugatan Rekonvensi di formulasi secara tegas ;
2.      Yang dianggap ditarik sebagai tergugat Rekonvensi hanya terbatas Penggugat Konvensi :
-       Yang dapat ditarik senbagai tergugat.
-       Tidak mesti menarik semua penggugat Konvensi.
-       Dilarang menarik sesame tergugat Konvensi menjadi tergugat Rekonvensi.
3.      Gugatan Rekonvensi diajukan bersama-sama dengan jawaban.
Pasal 132b (1) HIR Berbunyi : “Tergugat wajib mengajukan gugatan melawan bersama-sama dengan menjawabnya baik dengan surat maupun dengan lisan”
Terhadap makna “jawaban” telah terjadi perbedaan pendapat yaitu :
a.    Rekonvensi wajib diajukan besama-sama dengan jawaban pertama.
-       Membolehkan atau member kebabasan bagi tergugat mengajukan gugatan Rekonvensi diluar jawaban pertama dapat menimbulkan kerugian bagi penggugat dalam mebela hak dan kepentingannya.
-       Selain itu membolehkan tergugat mengajukan gugtan Rekonvensi melampaui jawaban pertama dapar menimbulkan ketidak lancaran pemeriksaan dan penyelesaian perkara.
-       Rasio yang terkandung dalam pembatasan pengajuan mesti pada jawaban pertama agar tergugat tidak sewenang-wenang dalam mempergunakan haknya mengajukan gugatan Rekonvensi.

b.    Batas pengajuan Gugatan Rekonvensi sampai tahab pembuktian.
Hal ini sejalan dengan putusan MA No. 239 K/SIP/1968, menurut putusan tersebut gugatan Rekonvensi dapat diajukan selama proses jawab menjawab berlangsung. Karena Pasal 132b (1) dan Pasal 158 RBg, hanya menyebut jawaban, sendangkan replik, duplik juga merupakan jawaban meskipun bukan jawaban pertama, demikian pula putusan MA No.642 K/SIP/1972, bahwa atas pengajuan gugatan rekonvensi masih terbuka sampai dimasukinya tahap proses pemeriksaan saksi, pembahasan yang demikian disepakati oleh Prof. Soedikno Martokusumo. Yaitu apabila proses pemeriksaan telah memasuki tahap pembuktian tergugat tidak dibenarkan mengajukan gugatan rekonvensi.

g.    Larangan Mengajukan Gugatan Intervensi.
1.    Larangan mengajukan gugatan Rekonvensi kepada diri orang yang bertindak berdasarkan suatu kualitas ( Pasal 132a (1) HIR.
2.     Larangan mengajukan gugatan Rekonvensi diluar Yuridiksi PN yang memeriksa perkara. Pasal 118 (1) dan (3) HIR.
3.    Larangan mengajukan gugatan Rekonvensi terhadap exsekusi pasal 132a (1) ke-3 HIR dan pasal 379Rv.
4.    Larangan mengajukan gugatan Rekonvensi pada tingkat banding Pasal 132a (2) HIR dan putusan MA No.1250 K/Pdt/1986.
5.    Larangan mengajukan gugatan Rekonvensi pada tingkat kasasi Putusan MA No. 209 K/SIP/1970.

C.     Gugatan Intervensi
Proses dengan tiga pihak/ ikut sertanya pihak ketiga dalam suatu proses (Pasal 279-282 Rv)
1.     Voeging.
Jika pihak ketiga itu mau membela atau mengabungkan diri ke salah satu pihak yang sedang berperkara.
2.     Tussenkomst
Jika pihak ketiga itu tidak memihak salah satu pihak, melainkan membela kepentingannya sendiri terhadap penggugat dan tergugat.
3.     Vrijwaring.
Penarikan pihak ketiga dalam suatu proses untuk menanggung, supaya tergugat dapat bebas dari penuntutan yang merugikan.


Cara Mengajukan Gugatan Intervensi :
1.     Mengajukan permohonan kepada majelis agar diperkenankan mencampuri proses tersebut dan dinyatakan ingin menggabungkan diri kepada salah satu pihak (voging) (Retno Wulan, SH. Hal.48).
2.     Pihak pemohon intervensi datang dipersidangan lalu dengan lisan atau tulisan mengemukakan kehendaknya untuk mencampuri perkara tersebut sebagai pihak ketiga. (Subekti, SH. Hal. 71)
3.     Gugatan intervensi diajukan kepada pihak ketiga kepada Ketua Pengadilan dengan melawan pihak yang sendang bersengketa/ ikut salah satu pihak dengan menunjuk no, tanggal perkara yang dilawan seperti gugatan biasa tanpa membayar biaya perkara dan tidak diberi nomer baru (Mukti Arti. Hal. 109)

D.     Gugatan Class Action/ Gugatan Perwakilan Kelompok.
Perma No.1/2002 Tanggal 26 april 2006.
1.     Pengertian Class Action
-     Suatu tata cara pengajuan gugatan yang dilakukan satu orang atau lebih.
-     Orang itu bertindak mewakili kelompok (CR) untuk diri sendiri dan sekaligus mewakili anggota kelompok (class members).
-     Antara yang mewakili kelompok dengan kelompok yang diwakili memiliki kesamaan fakta dan dasar Hukum.
Pasal 1 huruf a PERMA No.1/2002.

2.     Tujuan GPK/ CA/ RA.
-     Mengembangkan penyederhanaan akses masyarakat memperoleh keadilan.
-     Mengefektifkan efisiensi penyelesaian pelanggaran Hukum yang merugikan orang banyak.

3.     Syarat Formil CA/ RA
a.    Ada kelompom (Class)
Ø  Perwakilan kelompok.(Class Action).
Ø  Anggota kelompok (class members)
b.    Kesamaan fakta atau dasar Hukum.
c.    Kesamaan jenis tuntutan.

4.     Konsep Hak Gugatan LSM berbeda dengan Class Action
a.    Konsep CA Berdasarkan commanality.
Landasan utama konsep CA adalah asas atau syarat commonality yaitu prinsip kesamaan yang berkenaan dengan fakta dan dasar hokum dan kesamaan tuntutan hokum. Atau lazim juga disebut kesamaan kepentingan (same interest) kesamaan penderitaan (same grievence) dan kesamaan tujuan sam purpose) .
Agar dasar kesamaan (mononality) dapat ditegakkan, diperlukan factor-faktor yang menjadi landasannya yang disebut unsure CA.
5.     Formulasi gugatan CA
a.    Persyaratan umum berdasarkan Ketentuan HIR dan RBG.
-        Mencantumkan dan mengalamatkan gugatan berdasarkan kopetensi relative (yudiksi relative) sesuai dengan system dan patokan yang digariskan pasal 118 HIR.
Mencantumkan tanggal pada gugatan