BAB I
PENDAHULUAN
- Pengertian Hukum Pidana
Hukum
pidana materiel yang berarti isi atau substansi hukum pidana itu. Disini hukum
pidana bermakna abstrak atau dalam keadaan diam. Hukum pidana formil atau hukum
acara pidana bersifat nyata dan konkrit.Disini kita lihat hukum pidana dalam
keadaan bergerak,atau dijalankan atau berada dalam suatu proses.Oleh karena itu
disebut juga hukum acara pidana.
Van Bemmelen
merumuskan sebagai berikut:
“Ilmu
hukum acara pidana mempelajari peraturan-peraturan yang diciptakan oleh
negara,karena adanya dugaan terjadi pelanggaran undang-undang pidana”.
Nyatalah bahwa hukum pidana (Materiel)
sebagai substansi yang dijalankan dengan kata-kata”karena adanya dugaan terjadi
pelanggaran undang-undang pidana.
Moeljatno, seorang ahli sarjana hukum
pidana Indonesia bahwa hukum pidana Formil adalah hukumpidana sebagian daripada
keseluruhan hukum yang berlaku di suatu negara yang mengadakan dasar-dasar dan
aturan-aturan untuk:
1. Mentukan perbuatan-perbuatan mana yang tidak boleh dilarang
atau di lakukan dengan tidak di sertai larangan atau sanksi bagi siapa yang
melanggar larangan tersebut.
2. Menetukan kapan dan dalam hal-hal apa pada mereka yang telah
melanggar larangan-larangan itu dapat dikenakan atau dijatuhkan pidana.
3. Menetukan dengan cara bagaimana pengenaan pidana dapat
dilaksanakan apabila ada orang yang disangka telah melanggar larangan tersebut.
- Tempat dan Sifat Hukum Pidana
Adagium
bahasa jerman,”Wo Kein Klager Ist,Ist
Kein Richter,adalah jika tidak ada aduan maka tidak ada hakim. Munculah
pengertian Hukum publik termasuk hukum pidana yang utama ialah kepentingan
umum, bukanlah orang yang bertindak jika terjadi pelanggaran hukum tetapi
negara melalui alat-alatnyya.yaitu penjatuhan sanksi berupa pidana atau
tindakan. Hukum pidana Formil (Hukum acara pidana) corak hukum publiknya lebih
nyata lagi dari pada hukum pidana materil karena yang bertindak menyidik dan
menuntut adalah alat negara seperit Polisi atau jaksa jika terjadi pelanggaran
hukum pidana.
Menrut
Mackay tentang Asas Pokok pidana adalah : yang dapat dipidana hanya pertama,
orang yang melanggar hukum, ini adalah syarat mutlak (Condotio sine quanon), kedua
bahwa perbuatan itu melanggar hukum ancaman pidana yang berupa Ultimum remedium setiap orang yang
berpikir sehat akan dapat mengerti hal tersebut tidak berarti bahwa ancaman
pidana tidak diadakan dan harus menjaga jangan sampai terjadi obat yang
diberikan terlalu jahat dari pada penyakit
- Pembagian Hukum Pidana Umum dan Khusus
Hukum
pidana dapat dibagi atas hukum pidana di kodefikasikan dan yang tidak di
kodefikasikan, artinya yang dimuat dalam kitab Undang-undang, sedangkan yang
tidak dikodefikasikan, yaitu yang tersebar diluar kodifikasikan dalam
perundang-undangan
Tersendiri.
BAB II
SEJARAH SINGKAT
HUKUM PIDANA DI INDONESIA
A. Zaman VOC
Di daerah Cirebon berlaku papakeum cirebon yang mendapat pengaruh
VOC. Pada tahun 1848 dibentuk lagi Intermaire strafbepalingen. Barulah pada
tahun 1866 berlakulah dua KUHP di Indonesia:
- Het Wetboek van Strafrecht voor Europeanen (stbl.1866 Nomor 55) yang berlaku bagi golongan eropa mulai 1 januari 1867. kemudian dengan Ordonasi tanggal 6 mei 1872 berlaku KUHP untuk golongan Bumiputra dan timur asing.
- Het Wetboek van Strafrecht voor Inlands en daarmede gelijkgestelde ( Stbl.1872 Nomor 85), mulai berlaku 1 januari 1873.
B. Zaman
Hindia Belanda
Setelah
berlakunya KUHP baru di negeri Belanda pada tahun 1886 dipikirkanlah oleh
pemerintahan belanda yaitu 1866 dan 1872 yang banyak persamaanya dengan Code Penal Perancis, perlu diganti dan
disesuaiakan dengan KUHP baru belanda tersebut. Berdasarkan asas konkordansi (concrodantie) menurut pasal 75 Regerings Reglement, dan 131 Indische Staatsgeling. Maka KUHP di
negeri belanda harus diberlakukan pula di daerah jajahan seperti Hindia Belanda
harus dengan penyusaian pada situasi dan kondisi setempat. Semula di rencanakan
tetap adanya dua KUHP, masing-masing untuk golongan Bumiputera yang baru. Dengan
Koninklijik Besluit tanggal 12 April
1898 dibentuklah Rancangan KUHP golongan Eropa. Dengan K.B tanggal 15 Oktober
1995 dan diundangkan pada september 1915 Nomor 732 lahihrlah Wesboek van strafrecht voor Nederlandch
Indie yang baru untuk seluruh golongann penduduk. Dengan Invoringsverordening berlakulah pada
tanggal 1 Januari 1918 WvSI tersebut.
C.
Zaman
Pendudukan Jepang
Dibandingkan
dengan hukum pidana materiel, maka hukum acara pidana lebih banyak berubah,
karena terjadi unifikasi acara dan susunan pengadilan. Ini diatur di dalam Osamu Serei Nomor 3 tahun 1942 tanggal
20 sepetember 1942.
D.
Zaman
Kermedekaan
Ditentukandi
dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1946 terse3but bahwa hukum pidana yang
berlaku sekarang (mulai 1946) pada tanggal 8 Maret 1942 dengan perbagai
perubahan dan penambahan yang diseuakan dengan keadaan Negara Proklamasi
Kemerdekaan Indonesia dengan nama Wetboek
van Strafrecht voor Nederlandsch
Indie diubah menjadi Wetboek van
Stafrecht yang dapat disebut kitab Undang-undanhg Hukum Pidana (KUHP).
BAB III
TEORI-TEORI TENTANG HUKUM PIDANA
A.
Pengertian
Istilah
Hukuman Pidana dalam bahasa Belanda
sering disebut yaitu Straf. Hukuman
adalah istilah umumuntuk segala macam sanksi baik perdata, adminstratif,
disiplin dan pidana.
Sedangkan dalam arti sempit pidana
diartikan sebagai Hukum pidana.
B.
Tujuan Pidana
Dalam
Rancangan KUHP Nasional, telah diatur tentang
tujuan penjatuhan pidana, yaitu:
1. Mencegah dilakukannya tindak pidana menegakan norma hukum
demi pengayoman masyrakat.
2. Mengadakan koerksi terhadap terpidana dan dengan demikian
menjadikannya orang yang baik dan berguna.
3. Menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana,
memulihkan keseimbangan dan mendatangkan rasa damai dalam masyrakat.
4. Membebaskan rasa bersalah pada terpidana (Pasal 5).
Dalam literatur bahasa inggris
tujuan pidana bisa disebutkan sebagai berikut:
a) Reformation berarti memperbaiki atau merehabitasi penjahat menjadi orang
baik dan berguna bagi masyrakat.
b) Restraint maksudnya mengasingkan pelanggaran dari masyarakat, dengan
tersingkirnya pelanggaran hukum dari masyrakat berarti masyrakat itu akan
menjadi lebih aman.
c) Restribution adalah pembalasan terhadap pelanggaran karena telah
melakukan kejahatan.
d) Deterrence, adalah menjera atau mencegah sehingga baik terdakwa sebagai
individual maupun orang lain yang potensial menjadi penjahat akan jera atau
takut untuk melakukan kejahatan, melihat pidana yang dijatuhkan kepada
terdakwa.
BAB IV
RUANG LINGKUP KEKUATAN
BERLAKUNYA HUKUM PIDANA
A.
ASAS
LEGALITAS
Asas
ini tercantum didalam pasal 1 ayat 1 KUHP dirumuskan didalam bahasa latin: ”Nullum Delictum nulla poena sine
legipoenali” yang artinya. Tidak ada delik, tidak ada pidana tanpa ketentua
pidana yang mendahuluinya.
Ada kesimpulan dari rumus tersebut:
1) Jika sesuatu perbuatan yang dilarang atau pengabaian sesuatu
yang diharuskan dan diancam dengan pidana, maka perbuatan atau pengabdian
tersebut harusdtercantum didalam
undang-undang.
2) Ketentuan tersebut tidak boleh berlaku surut, dengan satu
kekecualian yang tercantum didalam pasal 1ayat 2 KUHP.
B.
Penerapan
Anologi
Utrecht
menarik garis pemisah antara imterprestasi eksetensi dan penerapan analogi
sebagai berikut:
I.
Interfrestasi : Menjalankan
undang-undangan setelah undang-undang tersebut dijelaskan.
Anologi
: Menjelaskan suatu perkara dengan tidak
menjalankan undang-undanag.
II. Interfrestasi : Menjalankan kaidah yang oleh
undang-undang tidak dinyatakan dengan tegas.
Anologi
: Menjalankan kaidah tersebut untuk
menyelsaikan suatu perkara yang tidak disingung oleh kaidah,tetapi yang
mengandung kesamaan dengan perkara yang disinggung oleh kaidah, tetapi yang
mengandung kesamaan dengan perkara yang disinggung kaidah tersebut.
C.
Hukum
Transitoir (Peralihan)
Yang menjadi masalah dalam hal ini.adalahketentuan
perundang-undangan yang mana apakah ketentuan hukum pidana saja ataukah
ketentuan hukum yang lain, masih dipermasalahkan oleh para pakar sarjana hukum pidana.Menurut
Memorie van Toelichting (Memori
penjelasan) WvSN (yang dapat dipakai
oleh KUHP), perubahan perundang-undangan berarti semua ketentuan hukum material
yang secara hukum pidana “Mempengaruhi penilaian perbuatan”.
D.
Berlakunya
Hukum Pidana Menurut Ruang Tempat dan Orang
I.
Asas
Teritorialitas atau Wilayah
Asas wilayah atau
teritorialitas ini tercantum didalam pasal 2 KUHP, yang berbunyi : “peraturan
hukum pidana Indonesia berlaku terhadap tiap-tiap orang yang di dalam nilai
Indonesia melakukan delik (straftbaar
feit) disini berarti bahwa orang yang melakukan delik itu tidak mesti
secara fisik betul-betul berada di Indonesia tetapi deliknya straftbaar feit terjadi di wilayah
Indonesia
II.
Asas
Nasionalitas Pasif atau Asas Perlindungan
Asas ini
menentukan bahwa hukum pidana suatu negara (juga Indonesia) berlaku terhadap
perbuatan-perbuatan yang dilakukan di luar negeri, jika karena itu kepentingan
tertentu terutama kepentingan negara dilanggar diluar wilayah kekuasaan itu.
Asas ini tercantum didalam pasal 4 ayat 1, 2 dan 4 KUHP. Kemudian asas ini
diperluas dengan undang-undang no. 4 tahun 1976 tentang kejahatan penerbangan
juga oleh pasal 3 undang-undang no. 7 (drt) tahun 1955 tentang tindak pidana
ekonomi.
III. Asas
Personalitas atau Asas Nasional Aktif
Inti asas ini
tercantum dalam pasal 5 KUHP, asas personalitas ini diperluas dengan pasal 7
yang disamping mengandung asas nasionalitas aktif (asas personalitas) juga asas
nasional pasif (asas perlindungan).
IV. Asas
Universalitas
Jenis kejahatan
yang diancam pidana menurut asas ini sangat berbahaya bukan saja dilihat dari
kepentingan Indonesia tapi kepentingan dunia secara universal kejahatan ini
dipandang perlu dicegah dan diberantas. Demikianlah, sehingga orang jerman
menamakan asas ini welrechtsprinhzip
(asas hukum dunia) disini kekuasaan kehakiman menjadi mutlak karena yuridiksi pengadilan tidak tergantung
lagi pada tempat terjadinya delik atau nasionalitas atau domisili terdakwa.
BAB V
INTERPRESTASI
UNDANG-UNDANG PIDANA
A. Pentingnya
Interprestasi
Pentingnya
interprestasi undang-undang pidana sehingga rumusan delik yang abstrak dapat
diterjemahkan ke dalam keadaan yang konkrit penafsiran yang paling sesuai
dengan ini adalah penafsiran sosiologis atau sesuai dengan kehidupan masyarakat
setempat.
B.
Penemuan
Hukum Oleh Hakim Pidana
Khusus
Indonesia, pasal 27 UU pokok kekuasaan kehakiman mengatakan, bahwa hakim
sebagai penegak hukum dan keadilan wajib menggali, mengikuti dan memahami
nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat. Dalam hukum perdata dikenal
beberapa jenis interprestasi yaitu :
a.
Interprestasi menurut tata bahasa
b. Penafsiran historis
c.
Penafsiran sistematis
d. Penafsiran sosiologis atau teleologis
C.
Jenis-jenis
Interprestasi UU Pidana
1. Interprestasi atau Penafsiran gramatika, artinya
interprestasi ini didasarkan kepada kata-kata undang-undang sudah jelas, maka
harus diterapkan sesuai dengan kata-kata itu walaupun seandainya maksud pembuat
undang-undang lain.
2. Interprestasi Dogmatis ini didasarkan kepada secara umum
suatu aturan pidana. Misalnya Arrest Hoge
Raad 27 juni 1898 yang memutuskan agar semua orang melakukan.
3. Interprestasi histories (Historia
legis) Penafsiran ini didasarkan kepada maksud pembuat UU ketika
diciptakan, jadi dapat dilihat pada Notulen rapat-rapat komisi di DPR.
4. Interprestasi Teleologis penafsiran ini mengenai tujuan UU
yaitu jika melampaui kata-kata UU.
5. Interfrestasi Ekstensif, yaitu penafsiran luas hal ini telah
dibicarakan di Bab III, dengan hubunganya dengan analogi. Misalnya penafsiran
“barang” dilputi aliran listrik, gas,
data komputer. Dalam penafsiran otentik didalam buku I RUU KUHP telah
dicantumkan hal ini.
6. Intrefrestasi Rasional (Rationeele
Interpretatie).
intreprestasi
ini didasarkan kepada ratio atau
akal, ini sering munpcul di dalam hukum perdata.
7. Interprestasi Antisipasi
ini didasarkan UU baru yang bahkan belum berlaku. Sering dipakai dalam
hukum perdata belanda berdasarkan BW.
8. Interfrestasi Perbandingan hukum. Interfrestasi ini
didasarkan kepada perbandingan hokum yang berlaku di pelbagi Negara.
9. Interfrestasi Kreatif (Creatieve
interpretatie) interfrestasi ini berlawanan dengan interfrestasi ekstensif,
disini rumusan delik dipersempit ruang lingkupnya.
10. Interfrestasi Tradisionalistik, dalam hokum pun ada tradisi
yang kadang-kadang jelas.
11. Interfrestasi Harmonisasi, interfrestasi ini didasarkan
kepada harmonni suatu peratura dengan peraturan yang lebih tinggi.
12. Interfrestasi droktriner ini didasarkan kepada doktrin yang
berdasarkan ilmu hukum pidana.
13. Interfrestasi Sosiologis, yang berdasarkan dampak waktu.
Interfrestasi inilah yang mestinya sering dipeergunakan di Indonesia agar
unifikasi hukum pidana dapat semua golongan etnik yang beraneka ragam.
Bab VI
Perbuatan dan Rumusan Delik
A. Pengertian Delik
Hukum pidana belanda memakai istilah Strafbaar feit, kadang-kadang Delictum.
Tetapi di dalam Negara Anglo-Sexson
memakai istilah Offense yang artinya
perbuatan pidana atau pristiwa pidana di Indonesia meakai juga istilah “Delik”
B. Rumusan
Delik
Simons merumuskan yang lengkap merupakan :
a.
Diancam dengan pidana oleh hukum,
b. Bertentangan dengan hukum,
c.
Dilakukan oleh orang yang bersalah,
d. Orang itu bertanggung jawab atas perbuatanya.
C. Perbuatan
dan Rumusan Delik dalam Undang-undang
Code penal memakai istilah infraction yang terbagi atas crimes
(kejahatan), Delits (Kejahatan
ringan). Hukum pidana Inggris memakai istilah Act dan lawannya Omission.
Menurut pendapat penulis,Act di baca “Tindakan” dan Omission di baca
“Pengabaian”.
D. Cara
Merumuskan Delik
Pada umumnya rumusan suatu delik berisi “Bagian Inti”
(Bestand delen) suatu delik. Artinya, bagian-bagian inti tersebut harus sesuai
dengan perbutan yang dilakukan,barulah seseorang diancam dengan pidana.banyak
penulis menyebut ini sebagai unsur delik.tetapi di sini, tidak dipakai istilah
“Unsur Delik’’, misalnya delik pencurian terdiri dari bagian inti (Bestand
delen):
I. Mengambil
II. Barang
yang seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang lain
III. Dengan maksud memiliki
IV. Melawan hokum
Didalam rumusan ini terdapat bagian inti “sengaja’’, karena
ada delik menghilangkan nyawa orang lain yang dilakukan dengan kealpaan
(Culpa), yaitu pasal 359 dan 361 KUHP.
E.
Pembagian
Delik
Delik
itu dapat dibedekan atas pelbagai pembagaian tertentu, seperti berikut ini:
1. Delik kejahatan dan Delik pelanggaran (Misdrijven en overtredingen).
2. Delik Materiel dan delik Formel (Materiele en fomeledelichten).
3. Delik Komisi dan Delik Omisi (Commissiedelicten en Omissiedelicten).
4. Delik yang berdiri sendiri dan Delik yang diteruskan (Zelfstandige en voorgezette delicten).
5. Delik Selesai dan Delik Berlanjut (Aflopende en voortdurende delicten).
6. Delik Tunggal dan delik berangkai (Enkelvoudige en gestelde delicten).
7. Delik Bersahaja dan Delik Berkualifikasi (Eenvoudige en gequalificeerde delicten).
8. Delik Sengaja dan Delik Kelalaian atau Culpa (Doleuse en culpose delicten).
9. Delik Politik dan Delik Komun atau Umum (Politieke en
commune delicten).
10. Delik-delik dapat dibagi juga atas kepentingan hukum yang
dilindungi, seperti delik terhadap keamanan Negara, delik terhadap orang, delik
kesusilan, delik terhadap harta benda dan lain-lain.
11. Untuk Indonesia,menurut Kitab Undang-undang hukum acara
pidana pasal 284, dikenal pula delik umum dan delik khusus, seperti delik
ekonomi, korupsi, subversi, dll.
BAB VII
KESALAHAN DALAM ARTI LUAS
DAN MELAWAN HUKUM
A.
Sengaja
“Sengaja”
(opzet) berarti De (Bewuste)richting van den wil op een bepaald
misdrijven, ( Kehendak yang disadari yang ditunjukan untuk melakukan
kejahatan tertentu). Kemudian perlu dikemukakan tentang adanya teori-teori
tentang sengaja itu. Pertama-tama ialah yang disebut teori kehendak. Menurut
teori ini,maka “ kehendak” merupakan hakikat sengaja itu. Bantahan dari teori
kehendak adalah teori Membayangkan teori dikemukakan oleh frank dlm tulisan Uber den Aufbau des Schulbegriffs, ia
mengatakan secara Piskologis, tidak mungkin suatu akibat dapat dikehendaki.
B.
Kelalaian ( Culpa)
Van Hamel membagi Culpa
atas dua jenis :
Kurang
melihat ke depan yang perlu, kurang hati-hati
Tetapi
Memori mengatakan, bahwa kelalaian terletak antara sengaja dan kebetulan.
Bagaimana pun juga culpa itu dipandang lebih ringan disbanding sengaja. Dikenal
juga di Negara Anglo-Sexson. Disebut dalam pembunuhan pada pasal 359 KUHP.
C.
Kesalahan
dan Pertanggungjawban Pidana
Dalam
pengertian hokum pidana dapat disebut cirri atau unsure kesalahan dalam arti
yang, yaitu:
- Dapatnya dipertanggung jawabkan pembuat
- Tidak adanya dasar peniadan pidana yang menghapus dapatnya dipertanggung jawabkan sesuatu perbuatan kepada pembuat.
- Adanya kaitan piskis antara pembuat dan perbuatan yang adanya sengaja atau kesalahan dalam arti sempit (Culpa).
D.
Melawan
Hukum
Melawan
hukum Formil diartikan bertentangan dengan Undang-undang apabila suatu perbutan
telah mencocoki rumusan delik, maka biasanya dikatakan telah melawan hukum
secara Formil.
E.
Subsosialitas (subsocialiteit)
Subsosialitas adalah tingkah laku akan penting bagi hukum pidana jika
perbuatan itu mengakibatkan bahaya bagi masyarakat, walaupun bahaya itu kecil
sekali jika tidak ada bahaya demikian, maka unsure subsosialitas tidak ada.
F.
Taatbestandmassikeit
dan Wesenchau
Didalam
hukum pidana jerman yang diikiuti Zevenbergen
di Negeri belanda, diterima adanya delik dengan syarat Taat bestandmassikeit, yang berarti bahwa
semua rumusan delik tidak perlu semua bagian inti ada. Unsar-unsur seperti
melawan hukum dan patutnya sesuatu perbuatan pidana walaupun semua itu
dimasukkan sebagai unsur delik. Sebaliknya, di Jerman ajaran ini diganti oleh Wesenchau
pada tahun 1930. ajaran Wesenchau mirip sekali dengan ajaran
melawan hukum yang materiel. Ini adalah bahwa ajaran sekali pun seuatu
perbuatan telah selesai dengan rumusan delik didalam Undang-undang pidana
belumlah otomatis merupakan suatu delik. Perbuatan pada dasarnya “Pada
hakikatnya” merupakan delik sesuai dengan rumusan delik yang dipandang sebagai
delik.
BAB VIII
DASAR PENIADAAN PIDANA
A. Pengertian
Dua hal yang perlu dijelaskan disini ialah pertama
pengertian pebuatan (fiet) dan
putusan yang telah tetap.
Van Hamel menunjukan tiga pengertian perbuatan (Fiet):
1) Perbuatan (fiet)
terjadi kejahatan (delik). Pengertian ini sangat luas, misalnya dalam suatu
kejadian beberapa orang dianiaya, dan apabila dalam suatu penganiayaan
dilakukan pula pencurian, maka tidak mungkin dilakukan pula penuntutan salah
satu dari perbuatan-perbuatan itu kemudian dari yang lain.
2) Perbuatan (fiet)
perbuatan yang didakwakan. Ini terlalu sempit. Vos tidak dapat menerima
pengertian perbuatan (fiet) dalam arti yang kedua ini.
3) Perbuatan (fiet)
perbuatan materil, jadi perbuatan itu terlepas dari akibat. Dengan pengertian
ini maka ketidak pantasan yang ada pada kedua pengertian terdahulu dapat
dihindari.
B.
Pembagian
Dasar Peniadaan Pidana
Yang tercantum didalam undang-undang dapat dibagi lagi atas
yang umum (terdapat di dalam ketentuan umum buku I KUHP) dan berlaku atas
rumusan delik. Yang khusus tercantum di dalam pasal tertentu yang berlaku untuk
rumusan-rumumusan delik itu saja.
Rincian yang umum itu terdapat di dalam:
1. Pasal 44 : Tidak dapat dipertanggung jawabkan
2. Pasal 48 : Daya paksa
3. Pasal 49 : Ayat (1) pembelaan terpaksa
4. Pasal 49 : Ayat (2) pembelaan terpaksa yang
meliampaui batas.
5. Pasal 50 : Menjalankan peraturan yang sah
6. Pasal 51 : Ayat (1) menjalankan perintah jabatan
yang berwenang
7. Pasal 51 : Ayat (2) menjalankan perintha jabatan
yang tdak berwenang jika bawahan itu dengan itiket baik memenadang atasan yang
bersangkutan sebagai berwenang.
C.
Dapat
Dipertanggungjawabkan
Praktek di Indonesia mengikuti
pengertian luas tersebut.
1. Kemungkinan menetukan tingkah lakunya dengan kemauanya
2. Mengerti tujuan nyata perbuatanya.
3. Sadar bahwa perbuatannnn itu tidak diperkenakan oleh
masyarakat>
D.
Daya
Paksa
Daya paksa (Overmacht) tercantum di dalma pasal 48 KUHP. Undang-undang hanya
menyebut tentang tidak dipidana seseorang yang melakukan pebuatan karena
dorongan keadan yang memaksa.
E. Pembelaan
Terpaksa
Pembelaan terpaksa ada pada setiap
hukum pidana dan sama usianya dengan hukum pidana itu sendiri. Istilah yang
dipakai oleh Belanda ialah noodweer
tidak terdapat dalam rumusan undang-undang tersebut:
1. Pembelaan itu bersifat terpaksa.
2. Yang dibela ialah diri sendiri, orang lain, kehormatan
kesusilan, atau harta benda sendiri atau orang lain.
3. Ada serangan sekejap atau ancaman serangan yang sangat dekat
pada saat itu.
4. Serangan itu melawan hukum.
F. Pembelaan
Terpaksa Melampaui Batas.
Ada
persamaan antara pembelaan terpaksa (noodweer) dan pembelaan terpaksa melampaui
batas yaitu, kedua mensyarakatkan adanya serangan yang melawan hukum yang
dibela juga sama, yaitu tubuh, kehormatan kesusilan, dan harta benda, baik diri
sendiri maupun orang lain.
Perbedaanya
ialah:
·
Pada pembelaan terpaksa yang
melampaui batas (Noodweer exces), pembuat melamapaui batas karena keguncangan
jiwa yang hebat, oleh karena itu,
·
Maka perbuatan itu tetep melawan
hukum,hanya orangnya tidak dipidana karena keguncangan jiwa yang hebat.
·
Lebih lanjut maka pembelaan terpaksa
yang melampui batas menjadi dasar pemaaf, sedangkan pembelaan terpaksa
merupakan dasar pembenaran,karena melawan hukumnya tidak ada
G.
Menjalankan
Ketentuan Undang-undang
Sebenarnya setiap perbuatan
pemerintah melalui alat-alatnya dalam menjalankan ketentuan undang-undang
adalah sah dan tidak melawan hukum,asalkan dilakukan dengan sebenarnya dan
patut.
H.
Menjalankan
Perintah jabatan
Pasal
51 KUHP menyatakan:
- Barangsiapa melakukan perbuatan untuk melaksankan perintah jabatanyang diberikan perintah jabatan yang diberikan oleh penguasa yang berwenang, tidak dipidana.
- Perintrah jabatan tanpa wewenag, tidak menyebabkan hapusnya pidana, kecuali jika yang diperintah, dengan itikad baik mengira bahwa perintah diberikan dengan wwenang dan pelaksannya termasuk dalam lingkungan pekerjannya.
BAB IX
TEORI-TEORI TENTANG
SEBAB AKIBAT
A. Pengertian
Setiap peristiwa sosial menimbulkan
satu atau beberapa peristiwa sosial yang lain, demikian seterusnya yang satu
mempengaruhi yang lain sehingga merupakan satu lingkaran sebab akibat. Hal inni
disbut hubungan kasual yang artinya adalah sebab akibat atau kausalitas.
B. Teori-teori Kausalitas
Demikian keanekaragaman hubungan
sebab akibat tersebut kadangkala menimbulkan berbagai permasalahanya yang tidak
pasti, oleh karena tidaklah mudah untuk menentukan mana yang menjadi akibat,
terutama apabila banyak ditemukan faktor berangkaiyang menimbulkan akibat.
Teori yang mengenealisasi dapat
dibagi menjadi 3, yaitu:
1.
Teori
adaquaat dari Von Kries
Adaequaat
artinya adalah sebanding, seimbamg, sepadan. jadi dikaitkan dengan delik, maka
perbuatan harus sepadan, seimbang atau sebanding dengan akibat yang sebelumnya
dapat diramalkan dengan pasti oleh pembuat.
2.
Teori
obyektif
Teori Rumeling mengajarkan bahwa
yang menjadi sebab atau akibat adalah faktor obyektif yang diramalkan dari
rangkaian faktor2 yang berkaitan dengan terwujudnya delik setelah delik itu
terjadi.
3.
Teori
adequaat dari Traeger
Menrutnya adalah pada umumnya dapat
disadari sebagai suatu yang mungkin sekali terjadi. Teori tersebut diberi
komentar oleh van Bemmelen bahwa yang disebut dengan ini adalah disadari
sebagai sesuatu yang sangat mungkin dapat terjadi.
Bab X
DASAR PENIADAAN PENUNTUTAN DAN
PELAKSANANAAN PIDANA
A.
Dasar
Peniadaan Penuntutan
Dasar
peniadaan penuntutan terdiri atas:
I.
Tidak ada pengaduan pada delik aduan
II.
Tidak dua kali penuntutan atas orang
dan perbuatan yang saaaaama tercantum dalam Pasal 76 KUHP.
III.
Terdakwa meninggal dunia,tercantum
dalam nPasal 77 KUHP
IV.
Lewat waktu,tercantum dalam Pasal 78
KUHP.
V. Penyelsaian di luar pengadilan
VI. Terdakwa
berumur di bawah 18 tahun (Undang-undang peradilan anak).
Bab XI
HUKUM PENETENSIER
Dalam undang-undang di luar KUHP
khususnya Undang-undang Nomor 7 (drt) tahun 1995 tentang Tindak Pidana Ekonomi
disebut “tindakan tatatertib” yaitu :
a.
Penutupan
sebagian atau seluruh perusahaan si tersangka dimana tindak pidana ekonomi itu disangka telah
dilakukan
b.
Penempatan
si tersangka dibawah pengampunan;
c.
Pencabutan
seluruh atau sebagian hak-hak tersangka atau pencabutan seluruh atau sebagian
keuntungan yang telah atau dapat diberikan oleh pemerintah kepada si tersangka
berhubungan dengan perusahaan itu;
d.
Supaya
tersangka tidak melakukan perbuatan-perbuatan tertentu;
e.
Supaya si
tersangka berusaha supaya barang-barang tersebut dalam pemerintah itu yang
dapat disita dikumpulkan dan disimpan di tempat yang ditunjuk dalam pemerintah
itu.
Jenis-jenis Pidana
a.
Pidana Pokok
1.
Pidana
Mati
2.
Pidana
Penjara
3.
Pidana
Kurungan
4.
Pidana
Tutupan (KUHP terjemahan BPHN, berdasarkan UU No. 20 tahun 1946)
b.
Pidana Tambahan
1.
Pencabutan
hak-hak tertentu
2.
Perampasan
barang-barang tertentu
3.
Pengumuman
putusan hakim
1.
Pidana
Mati
Delik
yang diancam dengan pidana mati di dalam KUHP sudah menjadi 9 buah, yaitu :
1.
Pasal 104
KUHP
2.
Pasal 111
ayat (2) KUHP
3.
Pasal 124
ayat (1) KUHP
4.
Pasal 124
bis KUHP
5.
Pasal 140
ayat (30) KUHP
6.
Pasal 340
KUHP
7.
Pasal 365
ayat (4) KUHP
8.
Pasal 444
k ayat (2) dan pasal 479 o ayat (2) KUHP.
2.
Pidana
Penjara
Pidana
penjara adalah bentuk pidana yang berupa kehilangan kemerdekaan. Tetapi juga
berupa pengasingan, misalnya di Rusia pengasingan Siberia dan juga berupa
pembuangan ke sebrang lautan, misalnya dahulu pembuangan penjahat-penjahat
Inggris ke Australia.
3.
Pidana
Kurungan
Menurut
Vos, pidana kurungan pada dasarnya mempunyai 2 tujuan. Pertama ialah sebagai custodia honesta untuk delik yang tidak
menyangkut kejahatan kesusilaan yaitu delik-delik culpa dan beberapa delik
dolus, seperti perkelahian satu lawan satu dan pailit sederhana.
Yang
kedua sebagai custodia simpleks,
suatu perampasan kemerdekaan untuk delik pelanggaran
4.
Pidana
Denda
Pada
zaman modern ini pidana denda dijatuhkan terhadap delik-delik ringan, berupa
pelanggaran atau kejahatan ringan oleh karena itu pula, pidana denda merupakan
satu-satunya pidan ayang dapat dipikul oleh orang lain selain terpidana.
5.
Pidana
Tutupan
Pidana
tutupan disediakan bagi para politis yang melakukan kejahatan yang disebabkan
oleh ideologi yang dianutnya tetapi dalam praktek peradilan dewasa ini tidak
pernah ketentuan tersebut diterapkan.
Pidana
Tambahan
Pidana
tambahan disebut dalam pasal 10 KUHP pada bagian b, yang terdiri dari :
1.
Pencabutan
hak-hak tertentu
2.
Perampasan
barang-barang tertentu
3.
Pengumuman
putusan hakim
c.
Tindakan (Maatregel)
Sering
dikatakan berbeda dengan piidana, maka tindakan bertujuan melindungi
masyarakat, sedangkan pidana bertitik berat pada pengenaan sanksi pada pelaku
suatu perbuatan. Tetapi secara teori, sukar dibedakan dengan cara demikian,
karena pidana pun sering disebut bertujuan untuk mengamankan masyarakat dan
mamperbaiki terpidana.
d.
Pidana Bersyarat
Pidan
abersyarat yang tercatum pada pasal 14 a sampai dengan 14 f KUHP diwarisi dari
Belanda tetapi dengan perkembangan zaman telah terdapat perbedaan atara
keduanya. Dalam pidana bersyarat dikenal syarat umum ialah terpidana bersyarat
tidak akan melaksanakan delik apapun dalam waktu yang ditentukan sedangkan
syart khusus akan ditentukan oleh hakim dan ada juga yang disebut syarat
khusus.
e.
Pelepasan Bersyarat
Pada
pelepasan bersyarat terpidana harus telah menjalani pidananya paling kurang 2/3
nya. Pelepasan bersyarat ini tidak inferatif atau otomatis. Dikatakan “dapat”
dierikan pelepasan bersyarat yang dikeluarkan oleh mentri kehakiman.
Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia
Sistem peradilan Indonesia berdasarkan sistem-sistem,
undang-undang dan lembaga-lembaga yang diwarisi dari negara Belanda yang pernah
menjajah bangsa Indonesia selama kurang lebih tiga ratus tahun.
Seperti
dikatakan oleh Andi Hamzah:
Misalnya
Indonesia dan Malaysia dua bangsa serumpun, tetapi dipisahkan dalam sistem
hukumnya oleh masing-masing penjajah, yaitu Belanda dan Inggris. Akibatnya,
meskipun kita telah mempunyai KUHAP hasil ciptaan bangsa Indonesia sendiri,
namun sistem dan asasnya tetap bertumpu pada sistem Eropa Kontinental
(Belanda), sedangkan Malaysia, Brunei, Singapura bertumpu kepada sistem Anglo
Saxon.
Walaupun bertumpu pada sistem Belanda, hukum pidana
Indonesia modern dapat dipisahkan dalam dua kategori, yaitu hukum pidana acara dan hukum pidana materiil. Hukum pidana acara dapat
disebut dalam Bahasa Inggris sebagai “procedural law” dan hukum pidana materiil
sebagai “substantive law”. Kedua kategori tersebut dapat kita temui dalam Kitab
masing-masing yaitu, KUHAP (Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana) dan KUHP
(Kitab Undang-Undang Hukum Pidana) berturut-turut.
“’The new
draft laws’, atau RUU KUHP baru itu telah disesuaikan dengan pandangan hidup
bangsa Indonesia termasuk nilai-nilai agama, nilai adat dan lagi pula
disesuaikan dengan Pancasila.”
Namun RUU KUHP baru memunculkan beberapa hal yang
sangat menarik terkait dengan perubahan-perubahan yang dapat terjadi pada
sistem hukum pidana dan patut didiskusikan, kenyataannya adalah sampai sekarang
RUU tersebut belum dilaksanakan. Menurut keterangan dari beberapa sumber, RUU
tersebut telah diajukan kepada DPR Jakarta selama kurang lebih dua puluh tahun
dan belum dapat disepakati apalagi disahkan.
Maka dari itu, untuk sementara KUHAP dan KUHP
merupakan undang-undang yang berlaku dan digunakan oleh lembaga lembaga penegak
hukum untuk melaksanakan urusan sehari-hari dalam menerapkan hukum pidana di
Indonesia.
KUHAP (dibedakan dari KUHP), menentukan
prosedur-prosedur yang harus dianut oleh berbagai lembaga yang terlibat dalam
sistem peradilan misalnya hakim, jaksa, polisi dan lain-lainnya, sedangkan KUHP
menentukan pelanggaran-pelanggaran dan kejahatan-kejahatan yang berlaku dan
dapat diselidiki ataupun dituntut oleh lembaga-lembaga tersebut.
Sebagai contoh hendaklah kita membaca Pasal 340 dari
KUHP tentang kejahatan terhadap nyawa orang, sebagai berikut:
Barangsiapa
dengan sengaja dan dengan direncanakan lebih dahulu menghilangkan nyawa orang,
karena bersalah melakukan pembunuhan berencana, dipidana dengan pidana mati
atau penjara seumur hidup atau penjara sementara selama-lamanya dua puluh
tahun.
Dari Pasal tersebut dapat kita lihat bahwa isi KUHP
adalah persyaratan dan ancaman (sanksi) substantif yang dapat diterapkan oleh
penegak hukum. Sebaliknya KUHAP menentukan hal-hal yang terkait dengan
prosedur; sebagai contoh Pasal 110 tentang peranan polisi dan jaksa:
“Dalam hal
penyidik telah selesai melakukan penyidikan, penyidik wajib segera menyerahkan
berkas perkara kepada penuntut umum”.
Dari hasil wawancara yang dilakukan dengan Bapak Dedy
Koesnomo dari Kejaksaan Tinggi, Propinsi Nusa Tenggara Barat[1][1] dapat kita
lihat bahwa dalam kenyataan, sebuah hasil penyidikan dalam bentuk berkas dari
pihak kepolisian didahului dengan sebuah Surat Pemberitahuan Dimulainya
Penyidikan atau SPDP. Itulah langkah pertama dari kepolisian untuk menjalankan
sebuah perkara pidana. Berita Acara Pemeriksaan (BAP) adalah berkas lengkap
yang mengandung semua fakta dan bukti terkait dengan kasusnya. BAP tersebut
akan menyusul SPDP biasanya dalam waktu kurang lebih tiga minggu. Setelah
diterima oleh pihak kejaksaan, (untuk tindak pidana ringan biasanya pada
tingkat kejaksaan negeri) barulah kejaksaan dapat meneliti berkasnya dan
menyatakan jika BAPnya lengkap dan patut dilimpahkan kepada pengadilan, atau
dikembalikan kepada kepolisian disertai petunjuk-petunjuk supaya dapat
diperbaiki dan diserahkan lagi.
Jika sebuah BAP telah diteliti oleh jaksa dan
dinyatakan cukup bukti untuk melimpahkan perkaranya kepada pengadilan maka
pertanggungjawaban untuk kasus tersebut beralih dari pihak kejaksaan kepada
pihak kehakiman dan pengadilan.
Acara Persidangan Pidana
Ketika sebuah perkara sudah sampai di pengadilan
negeri proses persidangannya adalah sebagai berikut: Penentuan hari sidang
dilakukan oleh hakim yang ditunjuk oleh ketua pengadilan untuk menyidangkan
perkara. Kejaksaan bertanggungjawab untuk meyakinkan terdakwa berada di
pengadilan pada saat persidangan akan dimulai. Maka kejaksaan wajib mengurus
semua hal terkait dengan mengangkut terdakwa dari Lembaga Permasyarakatan
(penjara) ke pengadilan, dan sebaliknya pada saat persidangan selesai. Di
Pengadilan Negeri diadakan beberapa ruang tahanan khususnya untuk menahan
tahanan sebelum dan sesudah perkaranya disidang.
Surat dakwaan yang menyatakan tuntutan-tuntutan dari
kejaksaan terhadap terdakwa dibaca oleh jaksa. Pada saat itu terdakwa
didudukkan di bagian tengah ruang persidangan berhadapan dengan hakim. Kedua
belah pihak, yaitu Penuntut Umum (jaksa) dan Penasehat Hukum (pengacara
pembela) duduk berhadapan di sisi kanan dan kiri. Setelah dakwaan dibaca,
barulah mulai tahap pemeriksaan saksi. Terdakwa berpindah dari posisinya di
tengah ruangan dan duduk di sebelah penasehat hukumnya, jika memang dia
mempunyai penasehat hukum. Jika tidak ada, dialah yang menduduki kursi
penasehat hukum itu.
Penuntut Umum akan ditanyai oleh hakim, apakah ada
saksi dan berapa saksi yang akan dipanggil dalam sidang hari itu. Jika,
misalnya ada tiga saksi yang akan dipanggil, mereka bertiga dipanggil oleh
jaksa dan duduk di bangku atau kursi berhadapan dengan hakim; kursi yang sama
tadi diduduki oleh terdakwa. Kemudian hakim akan menyampaikan beberapa
pertanyaan kepada saksi masing masing. Yaitu adalah; nama, tempat kelahiran,
umur, bangsa, agama, pekerjaan dan apakah mereka ada hubungan dengan si
terdakwa. Kemudian si saksi sambil berdiri, bersumpah sekalian dengan kata
pengantar sesuai dengan agamanya, kemudian kata-kata berikut:
“Demi Tuhan
saya bersumpah sebagai saksi saya akan menerangkan dalam perkara ini yang benar
dan tidak lain daripada yang sebenarnya.”
Sambil saksi bersumpah salah satu Panitera Pengganti
akan mengangkat sebuah Al Qur’an atau Kitab Suci lainnya sesuai dengan agama
mereka, di atas kepalanya. Menarik juga bahwa orang Hindu diberikan dupa yang
dipegang sambil bersumpah.
Salah satu perbedaan terkait dengan hal ini adalah,
semua saksi bersumpah pada saat bersamaan, sedangkan di Australia setiap saksi
akan bersumpah justru sebelum dia akan memberikan keterangan.
Setelah saksinya bersumpah, maka saksi pertama duduk di
bangku di depan hakim, sedangkan yang lain disuruh untuk keluar dari ruang
persidangan. Itulah saatnya pemeriksaan saksi dimulai oleh Ketua Hakim. Ini
juga merupakan salah satu perbedaan besar di antara sistem persidangan di
Australian dan RI. Di Australia peranan hakim dapat disebut pasif. Padahal
hakim di persidangan di Australia agak jarang akan bertanya langsung kepada
saksi. Sebaliknya di RI peranan hakim adalah sangat aktif. Dialah yang mulai
dengan pertanyaannya terhadap saksi. Bolehlah dia berlanjut dengan proses
interogasinya sehingga dia puas dan pertanyaanya habis-habisan.[2][2] Setelah
hakim selesai dengan pertanyaannya dia memberikan kesempatan kepada jaksa untuk
memeriksa saksi, disusul oleh penasehat hukum.
Pada akhir pemberian keterangan dari saksi masing
masing, si terdakwa akan diberikan kesempatan untuk menanggapi keterangan
tersebut. Dalam perkara yang ditonton oleh penulis, Hakim akan menyimpulkan
keterangan yang telah diberikan dengan mengatakan misalnya:
“Kita semua
telah mendengar saksi mengatakan bahwa pada tanggal 23 November kemarin dia
membeli narkotika dari anda dalam bentuk dua ‘pocket’ ganja di rumah anda dan
anda menerima uang sebanyak Rp40,000. Bagaimana anda menganggap keterangan itu?
Benar atau tidak benar, setuju atau tidak setuju?”
Kemudian terdakwa diperbolehkan untuk menyampaikan
tanggapannya terhadap keterangan tersebut. Setelah itu, saksi diminta untuk
turun dari kursinya dan duduk di bagian umum di belakang.
Proses ini berlanjut sehingga semua saksi dari
kejaksaan telah memberikan keterangannya. Kemudian penasehat hukum juga diberi
kesempatan untuk memanggil saksi yang mendukung atau membela terdakwa, dengan
proses yang sama sebagaimana digambarkan di atas. Setelah semua saksi
memberikan keterangan, tahap pemeriksaan saksi selesai dan perkara akan ditunda
supaya jaksa dapat mempersiapkan tuntutannya. Tuntutan adalah sebuah
rekomendasi dari jaksa mengenai sanksi yang dimintai dari hakim. “Setelah itu
giliran terdakwa atau penasehat hukumnya membacakan pembelaanya yang dapat
dijawab oleh penuntut umum, dengan ketentuan bahwa terdakwa atau penasehat
hukumnya mendapat giliran terakhir.”
Jika acara tersebut sudah selesai, ketua majelis
menyatakan bahwa pemeriksaan dinyatakan ditutup. Setelah itu para hakim harus
mengambil keputusan. Keputusannya dapat dijatuhkan pada hari itu juga atau hari
lain, setelah dilakukan musyawarah terakhir diantara para hakim. Jika dalam
musyawarah tersebut para hakim tidak dapat mencapai kesepakatan, keputusan
dapat diambil dengan cara suara terbanyak. Oleh sebab itu selalu diharuskan
jumlah hakim yang ganjil, yaitu tiga, lima ataupun tujuh hakim. Keputusan para
hakim ada tiga alternatif:
1. Perkara
terbukti – terdakwa dihukum
2. Perkara
tidak terbukti – terdakwa dibebaskan
3. Perbuatan
terbukti tetapi tidak perbuatan pidana – terdakwa dilepas dari segala tuntutan
(Onslag).
Berdasarkan teori pembuktian undang undang secara
negatif, keputusan para hakim dalam suatu perkara harus didasarkan keyakinan
hakim sendiri serta dua dari lima alat bukti. Pasal 183 KUHAP berbunyi sebagai
berikut:
“Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang,
kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh
keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah
yang bersalah melakukannya.”
Lima
kategori alat bukti tersebut adalah:
a.
keterangan
saksi
b. keterangan
ahli
c.
surat
d. petunjuk
e.
keterangan
terdakwa
Setelah memutuskan hal bersalah tidaknya, hakim harus
menentukan soal sanksinya, berdasarkan tuntutan dari jaksa dan anggapannya
sendiri terhadap terdakwa. Tergantung pendapatnya, hakim dapat menjatuhkan
pidana yang lebih ringan ataupun lebih berat daripada tuntutan jaksa.
“Hakim harus
menilai semua fakta-fakta. Misalnya dalam perkara pencurian, perbuatannya
mungkin terbukti, tetapi hakim berpendapat bahwa terdakwa tidak melakukannya
untuk berfoya-foya, melainkan untuk anaknya yang sakit. Kalau begitu, dapat dia
ringankan tuntutan dari Jaksa, misalnya dari sepuluh bulan, menjadi delapan
bulan. Lagi pula hakim dapat melebihi tuntutan dari jaksa...semuanya tergantung
perbedaan persepsi.”
Demikianlah prosesnya hukum acara pidana secara garis
besar sehingga terdakwa dibuktikan bersalah atau tidak bersalah. Jika memang ia
terbukti bersalah, apalagi dijatuhkan hukuman penjara maka ia akan dibawa ke
Lembaga Permasyarakatan untuk menjalani hukumannya.
Proses Pelaksanaan Sanksi Pidana
- PROSES PENUNTUTAN DI KEJAKSAAN
Setelah pemeriksaan di tingkat kepolisian/ penyidik dirasa lengkap, kasus dilimpahkan ke kejaksaan untuk dilakukan proses penuntutan.
Pelimpahan perkara dilengkapi dengan berkas perkara, tersangka dan alat bukti lainnya.
Apabila dalam waktu 7 hari tidak ada pemberitahuan dari kejaksaan, maka berkas dinyatakan P-21 dan siap dilakukan penuntutan. Akan tetapi jika berkas dirasa kurang lengkap, maka berkas dikembalikan dengan dilengkapi saran tentang kekurangan. Penyidik diberikan waktu selama 14 hari untuk melengkapi berkas, jika melewati batas waktu itu,penyidikan dapat dihentikan.
Surat dakwaan adalah suatu akta yang memuat rumusan tindak pidana yang didakwakan kepada terdakwa yang disimpulkan dan ditarik dari hasil pemeriksaan penyidikan dan merupakan dasar bagi hakim dalam pemeriksaan di persidangan (M. Yahya Harahap; 1993:414-415)
HAL-HAL YANG PERLU DIPERHATIKAN DALAM MENYUSUN SURAT DAKWAAN
Sesuai dengan BAP-
Menjadi dasar hakim-
Bersifat sempurna dan mandiri-
SYARAT-SYARAT DAKWAAN
1. Syarat Formil
Identitas terdakwa (143 ayat (2) KUHAP), nama lengkap,
tepat lahir,- umur/
tanggal lahir, jenis kelamin, kebangsaan, tempat tinggal, agama dan pekerjaan
tersangka.
Tanggal dibuat-
Tandatangan PU-
2. Syarat Materiil
Dirumuskan secara cermat, jelas dan lengkap tentang tindak pidana yang didakwakan terhadap terdakwa (143 (2) huruf b)-
Disebutkan locus dan tempus delictie-
SIFAT SEMPURNA SURAT DAKWAAN
Dapat Dibatalkan
Jika syarat formil tidak dipenuhi
Batal Demi Hukum
Jika syarat materiil tidak dipenuhi
Dianggap tidak memenuhi syarat materiil jika:
Dapat Dibatalkan
Jika syarat formil tidak dipenuhi
Batal Demi Hukum
Jika syarat materiil tidak dipenuhi
Dianggap tidak memenuhi syarat materiil jika:
Dakwaan kabur (obscuur libelen)-
dianggap kabur karena unsur-unsur tindak pidana tidak diuraikan atau terjadi percampuran unsur tindak pidana
Berisi pertentangan antara satu dengan yang lainnya-
terdakwa didakwa turut serta (medepleger) dan turut membantu (medeplecteheid)
1. Tunggal
(satu perbuatan saja) misalnya pencurian biasa (362 KUHP)
2. Alternatif
saling mengecualikan antara satu dengan yang lainnya, ditandai dengan kata
“ATAU”.isalnya pencurian biasa (362 KUHP) atau penadahan (480 KUHP) Alternatif
bukan kejahatan perbarengan.
3. Subsidair diurutkan mulai dari yang paling berat sampai
dengan yang paling ringan digunakan dalam TP yang berakibat peristiwa yang
diatur dalam pasal lain dalam KUHP. contoh. Lazimnya untuk pembunuhan berencana
menggunakan paket dakwaan- primer:
340, subsidair: 338, lebih subsidair: 355, lebih subsidair lagi 353.
4. Kumulatif
141 KUHAP:
Beberapa tindak pidana dilakukan satu orang sama-
Beberapa tindak pidana yang bersangkut paut-
Beberapa tindak pidana yang tidak bersangkutan-
Bentuk dakwaan Kumulatif
1. Berhubungan
dengan concursus idealis/ endaadse samenloop
perbuatan dengan diancam lebih dari satu ancaman pidana. (63 (1)KUHP)
misal: pengendara mobil menabrak pengendara sepeda motor berboncengan satu meninggal (359) dan satu luka berat (360)
perbuatan dengan diancam lebih dari satu ancaman pidana. (63 (1)KUHP)
misal: pengendara mobil menabrak pengendara sepeda motor berboncengan satu meninggal (359) dan satu luka berat (360)
2.
Berhubungan
dengan perbuatan berlanjut (vorgezette handeling) Perbuatan pidana yang
dilakukan lebih dari satu kali misal perkosaan terhadap anak dibawah umur (287)
dilakukan secara berlanjut (64 (1) KUHP)
3.
Berhubungan
dengan concursus realis/ meerdadse samenloop (65 KUHP)
melakukan beberapa tindak pidana-
Pidana pokoknya sejenis-
Pidana pokoknya tidak sejenis-
Concursus kejahatan dan pelanggaran-
Gabungan antara alternatif dan subsidair-
misal: pembunuhan berencana (340) ketahuan orang sehingga membunuh- orang tersebut (339), mengambil kendaraan orang yang dibunuh tersebut (362)
melakukan beberapa tindak pidana-
Pidana pokoknya sejenis-
Pidana pokoknya tidak sejenis-
Concursus kejahatan dan pelanggaran-
Gabungan antara alternatif dan subsidair-
misal: pembunuhan berencana (340) ketahuan orang sehingga membunuh- orang tersebut (339), mengambil kendaraan orang yang dibunuh tersebut (362)
4.
Gabungan TP
khusus dan TP umum.
Kumulatif penganiayaan dan KDRT.
Kumulatif penganiayaan dan KDRT.
PROSES
PENYUSUNAN SURAT DAKWAAN
A. VOEGING
Voeging adalah penggabungan berkas perkara dalam melakukan penuntutan, dan dapat dilakukan jika (pasal 141 KUHAP):
a. beberapa
tindak pidana;
b. beberapa tindak pidana yang dilakukan oleh satu orang atau lebih;
c. belum diperiksa dan akan diperiksa bersama.
B. SPLITSING
b. beberapa tindak pidana yang dilakukan oleh satu orang atau lebih;
c. belum diperiksa dan akan diperiksa bersama.
B. SPLITSING
Selain penggabungan perkara, PU juga memiliki hak untuk melakukan penuntutan dengan jalan pemisahan perkara (142 KUHAP). Splitsing dilakukan dengan membuat berkas perkara baru dimana para tersangka saling menjadi saksi. Hal ini dilakukan untuk menguatkan dakwaan PU.
Dalam perkembangannya, penuntutan dapat dihentikan oleh JPU dengan beberapa pertimbangan. Pertimbangan yang dimaksud adalah sesuai dengan bunyi pasal 140 ayat (2) KUHAP, yaitu:
karena tidak cukup bukti-
peristiwa tersebut bukan merupakan tindak pidana-
perkara ditutup demi hukum-
peristiwa tersebut bukan merupakan tindak pidana-
perkara ditutup demi hukum-
2. PROSES
PEMERIKSAAN DI PERSIDANGAN JENIS-JENIS ACARA PEMERIKSAAN
A. Acara Pemeriksaan Biasa (152-202
KUHAP)
B. Acara Pemeriksan Singkat/ sumir (203 KUHAP),
kategorinya untuk perkara pelanggaran non pasal 205 KUHAP.
C. Acara
Pemeriksan Cepat/ Roll biasanya berhubungan dengan TP ringan dan Pelanggaran
lalu lintas. (205 KUHAP). Kategorinya adalah pidana kurungan paling lama 3
bulan dan denda sebanyak-banyaknya Rp. 7500,-. Perbedaan mendasar antara acara
pemeriksaan singkat dan cepat adalah, untuk acara pemeriksaan singkat tetap
menggunakan JPU sedangkan acara pemeriksaan cepat langsung penyidik dengan
hakim tunggal.
PRINSIP PEMERIKSAAN DI PERSIDANGAN
Terbuka untuk umum kecuali kesusilaan dan anak-
TP khusus dimungkinkan secara Inabsentia (pasal 154 ayat (4) KUHAP)-
Pemeriksaan secara langsung dan lisan-
Berjalan secara bebas tanpa adanya intervensi-
TAHAPAN PEMERIKSAAN DI PERSIDANGAN SIDANG PERTAMA
Pemeriksaan Identitas Terdakwa (155)-
Memperingatkan terdakwa untuk memperhatikan dan memberikan nasihat (155)-
Pembacaan Surat Dakwaan-
Menanyakan apakah terdakwa mengerti isi dakwaan-
Hak mengajukan Eksepsi/ keberatan-
EKSEPSI
Eksepsi adalah keberatan terdakwa atau penasihat hukumnya atas dakwaan PU.
Dasar alasan eksepsi:
1. PN tidak berwenang mengadili
KEWENANGAN MENGADILI
A. KOMPETENSI
ABSOLUT
Kewenangan mutlak yang dimiliki oleh pengadilan dalam mengadili perkara berhubungan dengan jenis perkara. PN, PA, PTUN dan PM
Kewenangan mutlak yang dimiliki oleh pengadilan dalam mengadili perkara berhubungan dengan jenis perkara. PN, PA, PTUN dan PM
B. KOMPETENSI
RELATIF
Kewenangan relatf yang dimiliki oleh lembaga pengadilan sederajat dalam hal daerah hukum.
1. Dakwaan tidak dapat diterima Ne bis in idem- Daluwarsa-
2. Meminta surat dakwaan dibatalkan
3. Surat dakwaan diubah tanpa pemberitahuan
Kewenangan relatf yang dimiliki oleh lembaga pengadilan sederajat dalam hal daerah hukum.
1. Dakwaan tidak dapat diterima Ne bis in idem- Daluwarsa-
2. Meminta surat dakwaan dibatalkan
3. Surat dakwaan diubah tanpa pemberitahuan
C. Dakwaan atau salinan surat dakwaan harus diterima oleh
terdakwa/ penasihat hukumnya paling lambat 7 hari sebelum sidang. Surat dakwaan
dapat diubah dengan ketentuan (144 KUHAP):
a. 7 hari sebelum siding
b. perubahan hanya satu kali
c. salinan perubahan harus diberikan
kepada terdakwa/ penasihat hukumnya.
SIDANG LANJUTAN
Jawaban atas keberatan terdakwa oleh PU-
Putusan sela atas eksepsi-
Putusan sela berisi tentang:
a. eksepsi diterima, maka persidangan dihentikan
b. eksepsi ditolak, maka persidangan dilanjutkan.
Jawaban atas keberatan terdakwa oleh PU-
Putusan sela atas eksepsi-
Putusan sela berisi tentang:
a. eksepsi diterima, maka persidangan dihentikan
b. eksepsi ditolak, maka persidangan dilanjutkan.
Terhadap putusan sela dapat dilakukan upaya hukum yang disebut dengan VERZET atau perlawanan. Perlawanan diajukan setelah putusan pemidanaan.
MACAM-MACAM ALAT BUKTI:
Menurut pasal 184 KUHAP :
1. Keterangan saksi
Menjadi saksi adalah kewajiban semua orang, kecuali dikecualikan oleh UU.-
Menghindar sebagai saksi dapat dikenakan pidana (Penjelasan pasal 159 (2) KUHAP)-
KETENTUAN SEBAGAI SAKSI (185 KUHAP):
Melihat sendiri-
Mengalami sendiri-
Mendengar sendiri-
Bukan anggota keluarga terdakwa sampai derajat ketiga, keluarga ayah atau ibu, suami/istri (walaupun sudah cerai)-
Karena jabatannya diwajibkan menyimpan rahasia-
TATA CARA PEMERIKSAAN SAKSI
Saksi dipanggil satu persatu menurut urutan sebaiknya o/ hakim. Korban first. (160 (1)-
Memeriksa identitas-
Saksi wajib mengucapkan sumpah (160 ), di dalam sidang/ diluar (233). Tidak sumpah = sandera/ dianggap keterangan biasa (161)-
Keterangan berbeda dengan BAP. Hakim wajib mengingatkan (163)-
Terdakwa dapat membantah atau membenarkan keterangan saksi (164(1)-
Kesempatan mengajukan pertanyaan (164)-
Larangan mengajukan pertanyaan yang bersifat menjerat (166)-
Saksi tetap dihadirkan di sidang (167) atau ditentukan lain (172)-
Pemeriksaan saksi tanpa hadirnya terdakwa (173)-
SYARAT SAH KETERANGAN SAKSI SEBAGAI ALAT BUKTI
Disumpah-
Mengenai perkara yang dilihat, didengar, dialami serta alasan pengetahuannya.-
Harus didukung alat bukti lainnya-
Persesuaian antara keterangan dengan lainnya-
2. Keterangan ahli
Keterangan ahli adalah apa yang seseorang ahli nyatakan dalam sidang pengadilan (186 KUHAP)
Keterangan ahli dapat berupa keterangan lisan dan dapat juga berupa surat (visum et repertum yang dijelaskan oleh seorang ahli)
3. Surat
Prof. Pitlo, Surat adalah pembawa tanda
tangan bacaan yang berarti, yang menerjemahkan suatu isi pikiran.
Menurut pasal 187 KUHAP yang termasuk surat adalah:
a. Berita acara dan surat resmi lainnya yang dibuat oleh pejabat umum
b. Surat keterangan dari seorang ahli
c. Surat lainnya yang berhubungan dengan tindak pidana
4. Petunjuk
Petunjuk adalah perbuatan, kejadian, atau
keadaan yang karena persesuaiannya baik antara yang satu dengan yang lain,
maupun dengan tindak pidana itu sendiri, menandakan bahwa telah terjadi suatu
tindak pidana dan siapa pelakunya. (188)
Petunjuk hanya diperoleh dari :
a. Keterangan saksi
b. Surat
c. Keterangan terdakwa
5. Keterangan terdakwa
Keterangan terdakwa ialah apa yang terdakwa
nyatakan di sidang tentang perbuatan yang ia lakukan sendiri atau ia ketahui
sendiri atau ia alami sendiri (189)
Prinsip keterangan terdakwa
a. Tidak mengajukan pertanyaan yang
bersifat menjerat (pasal 166 KUHAP)
b. KUHAP
tidak menganut asas The Right to Remain in Silence (Pasal 175 KUHAP)
Jika terdakwa tidak mau menjawab atau menolak untuk menjawab pertanyaan, hakim ketua sidang menganjurkan untuk menjawab Sebelum berlakunya pasal ini, alat bukti yang ada dalam Nederland Sv pasal 339 adalah:
1. Eigen Waarneming van de rechter (pengamatan sendiri oleh hakim)
2. Verklaring van de verdachte (keterangan terdakwa)
3. Verklaringen van een getuige (keterangan seorang saksi)
4. Verklaringen van een deskundige (keterangan seorang ahli)
5. Schriftelijke bescheiden (surat-surat)
Sedangkan pada masa HIR, alat buktinya adalah (295 HIR):
1. Kesaksian-kesaksian
2. Surat-surat
3. Pengakuan
4. Isyarat-isyarat/ petunjuk
KEKUATAN PEMBUKTIAN
·
Urutan dalam
pasal 184 KUHAP bukan merupakan urutan kekuatan pembuktian.
·
Kekuatan
pembuktian terletak dalam pasal 183 KUHAP dengan asas Unus testis nullus testis
·
Hakim tidak
boleh menjatuhkan pidana dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah dan
keyakinan hakim.
PEMBAHARUAN ALAT BUKTI DALAM KUHAP
a.
Saksi ahli
perlu ada standarisasi seperti apa ahli itu. Contoh kasus Tjandra Sugiono, Mas
Wigantoro ahli dalam bidang telematika ditolak sebagai ahli karena tidak bisa
menunjukkan sertifikat ahlinya, sedangkan Prof. Loebby Loqman dapat sebagai
ahli tanpa pengesahan.
b.
Alat bukti
surat perlu diubah menjadi dokumen (UU pembuktian Malaysia: luas termasuk kaset
dan video)
c.
Petunjuk:
Belanda mengenal eigen waarneming van de rechter sedangkan Amerika mengenal
judicial notice yang artinya pengamatan hakim. Prinsipnya sama ditambah dengan
pengakuan barang bukti.
Pembacaan tuntutan oleh PU-
Berbeda dengan surat dakwaan, surat tuntutan adalah sebuah nota atau surat yang disusun berdasarkan fakta yang diperoleh dari pemeriksaan persidangan, sehingga dasar tuntutan pidana sesungguhnya merupakan kesimpulan yang diambil oleh penuntut umum terhadap fakta-fakta yang terungkap di persidangan.
ISI TUNTUTAN PIDANA
Tuntutan pidana secara garis besar harus memuat:
a. surat dakwaan
b. pemeriksaan di persidangan (pemeriksaan alat bukti)
c. fakta-fakta persidangan
d. pembuktian
e. tuntutan pidana
Pembelaan (pledooi)
Pledooi adalah pembelaan yang bersifat
lisan atau tertulis baik dari terdakwa maupun dari penasihat hukumnya berkenaan
dengan tuntutan PU Pledooi bisa dijawab
oleh PU disebut dengan REPLIK dan bisa dijawab untuk satu kali lagi oleh
terdakwa atau penasihat hukumnya disebut DUPLIK
Replik dan duplik-
Musyawarah hakim-
TEORI PEMBUKTIAN
1. Conviction-in time (berdasarkan keyakinan hakim saja)
2. Conviction-rasionee (keyakinan didukung oleh alasan yang jelas)
3. Menurut UU secara positif
Sistem bebas-
Sistem positif-
Sistem negatif (gabungan)-
4.
Berdasarkan UU secara negatif (keyakinan dan alasan yang logis)
5. KUHAP (sistem negatif)
Putusan Pengadilan :
5. KUHAP (sistem negatif)
Putusan Pengadilan :
Putusan pengadilan adalah pernyataan hakim
yang diucapkan dalam sidang pengadilan terbuka, yang dapat berupa pemidanaan
atau bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum dalam hal serta menurut cara
yang diatur dalam UU ini. (pasal 1 butir 11 KUHAP)
JENIS-JENIS PUTUSAN
1. Putusan bebas (Vrijspraak) pasal 191 (1) KUHAP
Tidak
terbukti adanya kesalahan-
Tidak adanya 2 alat bukti-
Tidak adanya keyakinan hakim-
Tidak terpenuhinya unsur tindak pidana-
Tidak adanya 2 alat bukti-
Tidak adanya keyakinan hakim-
Tidak terpenuhinya unsur tindak pidana-
2. Putusan
Lepas dari segala tuntutan hukum (onslaag van alle) pasal 191 (2) KUHAP.
Terbukti tetapi bukan tindak pidana-
Adanya alasan pemaaf, pembenar atau keadaan darurat-
Adanya alasan pemaaf, pembenar atau keadaan darurat-
Putusan Pemidanaan
Putusan pemidanaan dijatuhkan oleh hakim jika ia telah
memperoleh keyakinan, bahwa terdakwa melakukan perbuatan yang didakwakan dan ia
menganggap bahwa perbuatan dan terdakwa dapat dipidana
Memberitahukan kepada terdakwa bahwa memiliki hak
untuk menerima, pikir-pikir atau banding.
2. UPAYA HUKUM
1. Biasa
Verzet (upaya hukum terhadap putusan eksepsi)-
Banding (upaya hukum terhadap putusan pemidanaan)-
1. Biasa
Verzet (upaya hukum terhadap putusan eksepsi)-
Banding (upaya hukum terhadap putusan pemidanaan)-
Upaya banding dapat diajukan oleh terdakwa/penasihat
hukumnya atau oleh PU karena tidak puas dengan putusan PN. Tidak ada pengaturan
yang jelas mengenai alasan pengajuan banding.
Pengecualian banding:
a. Putusan
bebas
b. Lepas
dari segala tuntutan hukum berkenaan dengan kurang tepatnya penerapan hokum
c. Putusan
dalam acara cepat
Kasasi-
Menurut perundang-undangan Belanda ada tiga alasan pengajuan kasasi:
a. Terdapat kelalaian dalam hukum acara (vormverzuim)
b. Peraturan hukum tidak dilaksanakan atau ada kesalahan
c. Tidak melaksanakan cara melakukan peradilan sesuai undang-undang
2. Luar Biasa
Kasasi demi kepentingan hokum
Kasasi demi kepentingan hukum hanya diajukan oleh Jaksa Agung demi
kepentingan hukum dan tidak merugikan pihak manapun. (259 KUHAP)
Peninjauan Kembal.
Permintaan PK dapat dilakukan dengan dasar alasan:
a. Keadaan baru
(Novum) yang seandainya keadaan itu diketahui pada saat sidang berlangsung
dapat menjatuhkan putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum atau
meringankan terdakwa.
b. Adanya
pertentangan alasan antara putusan satu dengan yang lainnya
c. Kekhilafan
hakim atau kekeliruan yang nyata
4. PELAKSANAAN PUTUSAN PENGADILAN
(EXECUTIE) KUHAP mengatur pelaksanaan putusan
pengadilan pasal 270 – 276:
Putusan pengadilan dilakukan oleh Jaksa-
Pidana mati-
Pidana berturut-turut-
Pidana- denda
Pengaturan barang bukti yang dirampas oleh negara-
Ganti kerugian-
Biaya perkara-
Pidana bersyarat-
HAWASMAT
Pengawasan dan pengamatan putusan pengadilan dilakukan oleh hakim pengawas dan pengamat.-
Perancis menyebutnya sebagai Juge de l’ application des peines (1959)-
Belanda menyebutnya sebagai Executie rechter
Putusan pengadilan dilakukan oleh Jaksa-
Pidana mati-
Pidana berturut-turut-
Pidana- denda
Pengaturan barang bukti yang dirampas oleh negara-
Ganti kerugian-
Biaya perkara-
Pidana bersyarat-
HAWASMAT
Pengawasan dan pengamatan putusan pengadilan dilakukan oleh hakim pengawas dan pengamat.-
Perancis menyebutnya sebagai Juge de l’ application des peines (1959)-
Belanda menyebutnya sebagai Executie rechter
[1][1]
Wawancara dengan Dedy Koesnomo SH, MH, Kepala Bagian Tata Usaha Kejaksaan
Tinggi NTB pada tanggal 5 Februari 2009.
[2][2]Di
salah satu kasus korupsi dimana terdakwa adalah mantan Gubernur NTB proses
interogasi ini dari pihak hakim (tiga hakim – Ketua Majelis didampingi oleh dua
Anggota Hakim) berlanjut selama lebih dari tiga jam untuk satu saksi. Barulah
setelah itu pihak jaksa ataupun penasehat hukum diberikan kesempatan untuk
memeriksa saksinya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar