HUKUM ACARA PERDATA
I. PENDAHULUAN
1.1. Pengertian Hukum Acara Perdata
Prof.
Dr. Sudikno mertokusumo, SH
Hukum
Acara Perdata adalah peraturan Hukum yang mengatur bagaimana cara
ditaatinya Hukum perdata materiil dengan peraturan hakim. Lebih kongkrit
dikatakan bahwa Hukum Acara Perdata mengatur tentang bagaimana caranya
mengajukan tuntutan hak, memeriksa, memutuskan, dan pelaksanaan daripada
putusannya.
Abdul kadir Muhamad
Hukum
Acara Perdata adalah peraturan Hukum yang berfungsi untuk
mempertahankan berlakunya Hukum perdata sebagaimana mestinya. Hukum Acara
Perdata dirumuskan sebagai peraturan Hukum yang mengatur proses penyelesaian
perkara perdata melalui Pengadilan(hakim), sejak diajukan gugatan sampai dengan
pelaksanaan putusan hakim.
Retnowulan
Hukum
Acara Perdata Hukum Perdata Formil adalah kesemuanya kaidah Hukum
yang menentukan dan mengatur cara bagaimana melaksanakan hak-hak dan
kewajiban-kewajiban perdata sebagaimana yang diatur dalam Hukum Perata
Materiil.
R. Soesilo
Hukum
Acara Perdata /Hukum Perdata Formal yaitu kumpulan
peraturan-peraturan Hukum yang menetapkan cara memelihara Hukum perdata
material karena pelanggaran hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang timbul dari
Hukum perdata material itu, atau dengan perkataan lain kumpulan
peraturan-peraturan Hukum yang menentukan syarat-syarat yang harus dipenuhi
pada melangsungkan persengketaan dimuka hakim perdata, supaya memperoleh suatu
keputusan daripadanya, dan selanjutnya yang menentukan cara pelaksaan putusan
hakim itu.
Dari beberapa pengertian di atas bahwa Hukum Acara Perdata adalah
peraturan Hukum yang memiliki karakteristik :
-
Menentukan
dan mengatur bagaimana cara menjamin ditaatinya Hukum Perdata Materiil.
-
Menentukan
syarat-syarat yang harus dipenuhi untuk beracara di muka persidangan
pengadilan, mulai dari pengajuan gugatan, pengambilan keputusan sampai
pelaksanaan putusan pengadilan.
1.2. Sejarah Terbentuknya Hukum Acara
Perdata
Tanggal 5 Desember 1846 Gubernur Jendral Ijan Jacob Rochussen member
tugas kerua MA dan MA Tentara untuk membuat sebuah Reglemen bagi
golongan Indonesia.
Tanggal 6 Agustus 1847 Jhr. Mr. H.L Wichers/ Ketua MA dan MA
Tentara telah selesai dengan rancangannya serta peraturan penjelasannya.
Tanggal 5 April 1848, Stbl. 1848 No. 16 Rancangan Wichers diterima
dan di umumkan oleh Gubernur Jendral dengan diberi nama “Het Inlands reglement”
I.R. dan mulai berlaku tanggal 1 Mei 1848.
1.3. Azas-asas Hukum Acara Perdata
1.3.1. Pengertian
Paul
Scholten mendefinisikan asas Hukum sebagai pikiran-pikiran dasar yang dapat
didalam dan dibelakang system Hukum masing-masing dirumuskan dalam
aturan-aturan perundang-undangan dan putusan-putusan hakim yang berkenan
denganya, ketentuan-ketentuan dan keputusan-keputusan individual dapat
dipandang sebagai jabarannya.
Harjono
memberikan
pengertian atas Hukum yang mempunyai fungsi sebagai normal pemberi nilai. Jadi
dengan singkat system Hukum dibagin (secara substantive/ atas dasar nilai-nilai
yang dikandung dalam asas Hukum.
1.3. Asas-Asas Hukum Acara Perdata
Sudikno
Mertokusumo Hukum Acara Perdata menyebut ada
7 asas yaitu :
1.
Hakim
Bersifat Menunggu. Pasal 118 HIR dan
Pasal 142 RBg.
Inisiatif untuk mengajukan tuntutan hak diserahkan sepeuhnya kepada yang
bersangkutan. Jadi apakah aka nada proses atau tidak, apakah suatu perkara atau
tuntutan hak itu akan diajukan atau tidak semua diserahkan kepada pihak yang
berkepentingan, sedangkan Hakim bersifat menunggu datagnya tuntutan hak
diajukan kepadanya.
Akan tetapi sekali perkara diajukan kepadanya, Hakim tidak boleh menolak
untuk memeriksa dan mengadilinya, sekalipun dengan dalih bahwa Hukum tidak atau
kurang jelas (Pasal 16 UU No. 4/2004). Larangan untuk menolak memeriksa perkara
sebabkan anggapan bahwa hakim tahu akan hukumnya ( ius curi novit ), kalau sekiranya ia tidak dapat menemukan
Hukum tertulis, maka ia wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai
Hukum yang hidup dalam masyarakat (Pasal 28 UU No. 4/2004).
2.
Hakim
Pasif. Pasal 178 (3) HIR dan Pasal 154 RBg.
Ruang lingkup atau luas pokok sengketa yang diajukan
kepada Hakim untuk diperiksa pada dasarnya ditentukan oleh para pihak yang
berperkara dan bukan Hakim. Hakim hanya membantu para pencari keadilan dan
berusaha mengatasi segala hambatan dan rintangan untuk dapat tercapainya
Peradilan (Pasal 28 UU No. 4/2004).
Hakim harus aktif memimpin sidang, melancarkan
jalane persidangan, membantu kedua belah pihak dalam mencari kebenaran, tetapi
dalam memeriksa perkara perdata hakim harus bersikap Tut wuri, hakim terikat
pada peritiwa yang diajukan oleh para pihak.
Para pihak dapar secara bebas mengakhiri sendiri sengketa yang telah
diajukannya ke muka pengadilan, sedangkan hakim tidak dapat menghalaginya. Hal
ini dapat berupa perdamaian atau pencabutan gugatan (Pasal 130 HIR, 154 RBg).
Hakim wajib mengadili semua gugatan dan larangan
menjatuhkan putusan atas perkara yang tidak di tuntut, atau mengabulkan lebih
dari yang di tuntut (Pasal 178 ayat 2 dan 3 HIR, Pasal 189 ayat 2 dan 3 RBg.)
apakah yang bersangkutan mengajukan banding atau tidak itupun bukan kepentingan
Hakim (Pasal 6 UU No. 20/1047, Pasal 199 RBg).
3.
Sifat
Terbuka Persidangan. Pasal 19 (1) dan Pasal 20 UU No. 4 Tahun 2004.
Bahwa setiap orang dibolehkan hadir, mendengar, dan
menyaksikan pemeriksaan persidangan (kecuali di tuntut lain oleh UU). Tujuannya
adalah untuk memberi perlindungan hak-hak asasi manusia dalam bidang peradilan
serta untuk lebih menjamin obyektifitas peradilan dengan pertanggungjawaban
pemeriksaan yang fair, tidak memihak serta putusan yang adik kepada masyarakat,
(Pasal 19 ayat 1 UU No. 4/2004).
Namun ada juga persidangan yang sifatnya tertutup,
misalnya perkara perceraian, akan tetapi sidang pembacaan putusan harus
terbuka, jika tidak dinyatakan terbuka untuk umum keputusan itu tidak sah dan
tidak mempunyai kekuatan hukuk serta mengakibatkan batalnya putusan itu menurut
Hukum.
4.
Mendengan
Kedua Belah Pihak. Pasal 5 (1) UU No.
4/2004 dan Pasal 132a, 121 (2) HIR dan Pasal 145 (2), 157 RBg serta Pasal 47
RV.
Bahwa kedua belah pihak haruslah diperlakukan sama,
tidak memihak dan didengar bersama-sama. Bahwa Pengadilanmengadili menurut
Hukum dengan tidak membeda-bedakan orang (Pasal 5 UU No. 4/2004).
Bahwa hakim tidak boleh menerima keterangan dari
salah satu pihak sebagai benar, bila pihak lawan tidak didengar dan diberi
kesempatan untuk mengeluarkan
pendapatnya, hal itu berarti juga bahwa pengajuan alat bukti harus dilakukan di
muka sidang yang dihadiri oleh kedua belah pihak (Pasal 132a, 121 Yt 2 HIR,
Pasal 145 ayat 2, 157 RBg dan Pasal 47 Rv).
5.
Putusan
Harus Disertai Alasan-alasan. Pasal 25 UU No. 1/2004 Pasal 184 (1), 319 HIR
dan Pasal 195, 618 RBg.
Semua putusan hakim harus memuat alasan-alasan
putusan yang dijadikan dasar untuk mengadili (Pasal 25 ayat 1 UU No.4/2004,
Pasal 184 ayat 1, 319 HIR, Pasal 195, 618RBg).
Betapa pentingnya alasan-alasan sebagai dasar
putusan dapat kita lihat dari beberapa putusan MA yang menetapkan, bahwa
putusan yang tidak lengkap atau kurang cukup dipertimbangkan merupakan alasan
untuk kasasi dan harus dibatalkan.
6.
Beracara
dikenakan Biaya, Pasal 4 (2), 5 (2) UU No. 4/2004. Pasal 121 (4), 182, 183 HIR,
Pasal 145 (4), 192 RBg, kecuali Pasal 237 HIR, Pasal 273 RBg. Untuk berperkara
pada asanya dikenakan biaya (Pasal 4 ayat 2,5 ayat 2 UU No. 4/2004).
Biaya perkara ini meliputi biaya kepaniteraan dan
biaya untuk penggalian pemberitahuan para pihak serta biaya materai. Disamping
itu apabila diminta bantuan seorang pengacara maka harus pula dikeluarkan
biaya.
Bagi mereka yang tidak mampu untuk membayar biaya
perkara, dapat mengajukan perkara secara Cuma-Cuma (Pro Deo) dengan mendapatkan
ijin untuk dibebaskan dari pembayaran biaya perkara, dengan mengajukan surat
keterangan tidak mampu yang dibuat oleh Kepala Polisi (Pasal 237 HIR, 237 RBg).
Akan tetapi dalam praktek surat keterangan tidak mampu dibuat oleh Camat daerah
tempat tinggal yang berkepentingan.
7.
Tidak ada keharusan
mewakilkan. Pasal 123 HIR, 147 RBg.
HIR tidak mewajibkan para pihak untuk mewakili
kapada orang lain, sehingga pemeriksaan dipersidangan terjadi secara langsung
terhadap para pihak yang langsung berkepentingan. Akan tetapi para pihak dapat
dibantu atau diwakili oleh kuasanya kalau dikehendakinya (Pasal 123 HIR, 147
RBg).
Setiawan
menyebutkan ada 8 asas yaitu :
1. Asas kesederhanaan. Pasal 4 (2), 5
(2) UU No. 4/2004
2. Pengadilanmengadili menurut Hukum
dengan tidak membedakan orang, Pasal 5 (1) UU No. 4/2004.
3. Hakim aktif memimpin proses. Pasal
132 HIR, Pasal 156 RBg.
4. Memberikan perlakuan yang
sama kepada para pihak yang berperkara.
5. Para pihak memiliki kedudukan yang
sama.
6. Suatu putusan Pengadilanharus
diberi suatu pertimbangan yang cukup.
7. Penyelesaian perkara dalam waktu
yang pantas.
8. Hukum acara itu sendiri bukan
tujuan.
1.4. Sumber Hukum Acara Perdata
A. Pengertian Sumber Hukum Acara
Perdata
Secara sederhana Sumber Hukum adalah segala sesuatu yang dapat
menimbulkan aturan dan tepat ditemukannya aturan-aturan Hukum.
B. Macam-macam Sumber Hukum Acara
Perdata
1. Peraturan Perundang-undangan
a. HIR : Het Herzein Indonesisch Reglement Stb. 1848 No. 16 Jonto Stb, 1941 No.
44 berlaku untuk daerah jawa dan Madura.
b. RBg : Rechtsreglement Buitengewesten Stb. 1927 No. 227 Untuk luar jawa dan
Madura.
c. BW Buku ke
IV : Burgelijke Wetboek Voor Indonesisch
d. RV :
Reglement op de Burgelijk Rechtsvordering Stb. 1847 No. 52 Jo. Stb. 1849 No. 63
Hukum Acara Perdata untuk golongan eropa.
e. UU No. 20/1947, UU tentang
Peradilan Ulangandi Jawa dan Madura.
f. UU No. 04/2004, UU tentang
Kekuasaan Kehakiman.
g. UU No. 14/1985 Jo, UU No. 5/2004.
h. UU No. 2/1986 Jo, UU No. 8/2004 UU
tentang Lingkungan Peradilan Umum.
i. UU No. 7/1989 UU tentang Peradilan
Agama.
j. UU No. 1/1974 dan PP No. 9/1975
k. PERMA dan SEMA.
2. Yurisprudensi
3. Adat
kebiasaan yang dianut oleh para hakim dalam melakukan Pemeriksaan Perkara
Perdata.
4. Doktrin
5. Perjanjian International
Perjanjian
kerjasama di bidang peradilan antara RI dan Kerajaan Thailand.
II. BADAN PERADILAN UMUM DAN KHUSUS
A. Susunan Badan Peradilan Umum dan
Khusus.
Kekuasaan Kehakiman dilaksanakan :
1. Mahkaman Agung dan Badan Peradilan
yang ada dibawahnya : Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan Tata Usaha
Negara, Peradilan Militer.
2. Mahkamah Konstitusi
Mahkamah
Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang
putusannya bersifat final untuk :
- Menguji UU terhadap UUD
- Memutuskan sengketa kewenangan
lembaga Negara yang kewenangannya diberikan UUD
- Memutus pembubaran Partai Politik
- Memutus sengketa hasil Pemilu.
(Pasal 24
ayat 2 UUD 1945 ; Pasal 10 UU No. 4/2004; Pasal 12 UU No.4/2004; Pasal 2 UU
NO.4/2004).
Kekuasaan
Kehakiman (UU No. 4/2004
Pasal
1 : Kekuasaan
Kehakiman adalah kekuasaan Negara yang merdeka.
Pasal
4 : Peradilan
dilakukan “Demi keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”
Pasal
8 : “Asas
Praduga tak bersalah”
Pasal
10 : Kekuasaan
Kehakiman dilakukan oleh sebuah MA dan badan Peradilan yang ada dibawahnya dan
oleh sebuah MK.
Pasal
12 : MK
berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat
final untuk :
- Menguji UU terhadap UUD 1945.
- Memutus Sengketa kewenangan
lembaga Negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD Negara RI 1945.
- Memutus pembubaran Parpol dan
- Memutus Perselisihan tentang hasil
Pemilu.
Pasal 16 : Pengadilantidak boleh
menolak untuk memeriksa dan mengadili suatu perkara yang diajukan dengan dalih
bahwa Hukum tidak atau kurang jela, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya.
Pasal 11 : MA Berwenang menguji
Peraturan Perundang-undangan di bawah ayat 2.b UU terhadap UU.
Pasal 19 : Sidang Pemeriksaan
Pengadilanadalah terbuka untuk umum, kecuali UU menentukan lain.
Pasal 28 : Hakim wajib
Menggali,mengikuti dan memahami nilai-nilai Hukum dan rasa keadilan yang hidup
dalam masyarakat.
Pasal 20 : Semua peraturan
Peradilan hanya sah dan mempunyai kekuatan Hukum apabila di ucapkan dalam
sidang terbuka untuk umum.
Pasal 37 : Setiap orang yang
tersangkut perkara berhak memperoleh bantuan Hukum.
B. Kekuasan Peradilan Umum dan Khusus.
1. Kekuasan Peradilan Umum (UU
No.2/1986 & UU No. 8/2004
-
Kekuasaan
Kehakiman di lingkungan Peradilan Umum dilaksanakan oleh PengadilanTinggi
(Pasal 3 UU No. 2/1986).
-
PengadilanNegeri
bertugas dan berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara pidana dan
perdata di tingkat pertama (Pasal 50 UU No. 2/1986).
-
PengadilanTinggi
bertugas dan berwenang mengadili perkara pidana dan perfata di tingkat banding
(Pasal 51 (1) dan mengadili tingkat pertama dan terakhir sengketa kewenangan
mengadili antara PN dan daerah
hukumannya (Pasal 51 (2) UU No.2/1986).
2. Kekuasaan PengadilanAgama (UU No.
7/1989 Jo, UU No.3/2006)
Pasal 49 UU No.3/2006 :
-
PengadilanAgama
bertugas dan berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara-perkara ditingkat
pertama antara orang-orang yang beragama Islam dibidang :
a. Perkawinan :
Perkawinan
adalah hal-hal yang diatur dalam atau berdasarkan Undang-undang Perkawinan yang
berlaku dan dilakukan menurut syari’ah (Penjelasan UU No. 3 Tahun 2006 Pasal 49).
b. Kewarisan :
Waris
adalah penentuan siapa yang menjadi ahli waris, penentuan mengenai harta
peninggalan, penentuan bagian masing-masing ahli waris, dan melaksanakan
pembagian harta peninggalan tersebut, serta penetapan Pengadilanatas permohonan
seseorang tentang penentuan siapa yang menjadi ahli waris, penentuan bagian
masing-masing ahli waris.
c. Wasiat
:
Wasiat
adalah perbuatan seseorang memberikan suatu benda atau manfaat kepada orang
lain atau lembaga badan Hukum, yang berlaku setelah yang member tersebut
meningal dunia.
d. Hibah
:
Hibah
adalah pemberian suatu benda secara sukarela dan tanpa imbalan dari seseorang
atau badan Hukum kepada orang lain atas badan Hukum untuk dimiliki.
e. Wakaf
:
Wakaf
adalah perbuatan seorang atau sekelompok orang (wakif) untuk memisahkan dan
atau menyerahkan sebagian harta benda miliknya untuk dimanfaatkan selamanya
atau untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan kepentingannya guna keperluan
ibadah dan/atau kesejahteraan umum menurut syari’ah.
f. Zakat
:
Zakat
adalahharta yang wajib disisihkan oleh seorang muslim atau badan Hukum yang
memiliki oleh orang islam sesuai dengan ketentuan syari’ah untuk diberikan
kepada orang yang berhak menerimanya.
g. Infaq
:
Infaq
adalah perbuatan seseorang memberikan sesuatu kepada orang lain guna menutupi
kebutuhan, baik berupa makanan, minuman, mendermakan, memberikan risky
(karuania) atau menafkahkan sesuatu kepada orang lain berdasarkan rasa ikhlas,
dank arena Allah S.W.T.
h. Shodagoh
dan
i. Ekonomi
Syari’ah.
-
PengadilanTinggi
Agama Kewenangannya diatur dalam Pasal 51 ayat 1 dan 2 UU No. 7/1989.
C. Kekuasaan PengadilanTUN (UU No.
5/1986 & UU No. 9/2004)
- Kewenangan PTUN diatur dalam Pasal
47 UU no. 5/1986 Sengketa TUN.
- Kewenangan PTUN diatur dalam Pasal
51 UU no. 5/1986
D. Kekuasaan Peradilan Militer.
-
UU No. 31
Tahun 1997
E. Kekuasaan MA (UU No. 14/1985 Jo. UU
No.5/2004)
- MA Bertugas dan berwenang
memeriksa dan memutuskan :
1. Permohonan Kasasi.
2. Sengketa tetang kewenangan mengadili.
3. Permohonan meninjauh kembali putusan Pengadilanyang
yelah memperoleh kekuatan Hukum tetap (Pasal 28 UU No.14/1985)
- MA dalam tingkat kasasi
membatalkan putusan datau penetapa Pengadilandari semua lingkungan peradilan
karena :
1. Tidak berwenang dan melampaui batas wewenang.
2. Salah menerapkan atau melanggar Hukum yang berlaku.
3. Lalai memenuhi syarat-syarat yang diwajibkan oleh
Peraturan Perundang-Undangan yang mengancam kelalaian itu dengan batalnya putusan
yang bersangkutan (Pasal 30 ayat 1 UU No. 5/2004).
F. Kompetensi/ Kewenangan Mengadili
Hukum
Acara Perdata mengenal dua macam kewenangan yaitu :
1. Kewenangan Mutlak/ Absolut.
2. Kewenangan Relative/ NISBI Pasal
133 HIR, Pasal 159 RBg, Pasasl 136 HIR ataun 162 RBg, menyangkut pembagian
kekuasaan mengadili antar Pengadilanyang serupa tergantung dari tempat tinggal
tergugat, azasnya adalah yang berwenang adalah PengadilanNegeri tempat tinggal
tergugat, azas ini dengan bahasa latin dikenal “Actor Sequitoir Forum Rei”.
Terhadap
azas diatas terdapat beberapa pengecualian, misalnya yang terdapat dalam Pasal
118 HIR dan 142 RBg.
1. P.N. tenpat kediaman Tergugat,
bila tempat tingal tergugat tidak diketahui.
2. Jika tergugat 2 orang atau lebih,
gugat diajukan pada tempat tinggal salah satu tergugat, terserah pilih
Penggugat.
3. Akan tetapi dalam ad. 2 diatas,
bila pihak tergugat ada 2 orang, yang seorang berhutang, dan yang lainnya
penjaminnya, maka gugatan harus di P.N tempat tinggal yang berhutang.
4. Bila tempat tingal dan tempat
kediaman, tergugat tidak dikenal, gugatan diajukan kepada P.N tempat tinggal
penggugat atau dari salah seorang dari Penggugat.
5. Dalam ad.4 gugatan mengenai barang
tetap, dapat juga diajukan melalui P.N dimana barang tetap itu terletak, hal
ini berbeda dengan ketentuan Pasal 99 (8) RV dan Pasal 142 (5) RBg. Dalam hal
gugat menyangkut barang tetap gugat diajukan di P.N di mana barang tersebut
terletak.
6. Bila ada tempat tinggal yang
dipilih dengan suatu akta, gugatan diajukan sesuai dengan akta, bila penggugat
mau, ia dapat mengajukan gugat di tempat tinggal tergugat.
Pengecualian
lain misalnya yang terdapat :
1. Pasal 21 BW, jika Tergugat tidak
cakap, maka gugatan diajukan di P.N tempat tinggal orang tua, wali atau
Pengampu, Pasal 20 BW, Jika tergugat PNS gugatan diajukan di P.N dimana ia
bekerja atau dinas. Pasal 22 BW, gugatan terhadap buruh yang tinggal di rumah
majikan, maka gugatan di ajukan di mana majikannya tinggal.
2. Pasal 99 ayat 15 RV, Gugatan
kepailitan diajukan di P.N yang menyatakan tergugat pailit.
3. Pasal 99 ayat 14 RV, Gugatan
Vrijwaring/ Penjaminan (Gugatan Interfensi) di ajukan di P.N yang sedang memeriksa
gugatan asal.
4. Pasal 38 ayat 1 dan 2 PP No.
9/1975 : Gugatan pembatalan perkawinan dapat diajukan di Pengadilantempat
berlangsungnya perkawinan itu.
5. Pasal 20 ayat 2 dan 3 Pp No.
9/1975 : Gugatan perceraian diajukan di P.N tempat tinggal penggugat, bila
tergugat diam di liar negeri.
Pasal 17 BW :
- Setiap orang dianggap punya tempat
tinggalnya dimana ia menempatkan pusat kediamannya.
- Dalam hal tak ada tempat, maka
tempat kediaman sewajarnya dianggap sebagai tempat tinggal.
Pasal 118 ayat 1 HIR :
Gugatan perdata, yang pada tingkat
pertama, masuk kekuasaan P.N, harus dimasukkan dengan surat permintaan yang di
tandatangani oleh Penguggat atau oleh wakilnya menurut P{asal 123, kepada Ketua
P.N didaerah Hukum siapa yang tergugat bertempat diam atau jika tidak diketahui
tempat diamnya, tempat tinggalnya sebetulnya.
Pasal 66 (2) UU No.7/1989 :
- Pengajuan cerai talaq diajukan ke
Pengadilan tempat kediaman termohon, Pasal 73 (1) UU No.7/1989.
Pasal 73 (1) UU No.7/1989 :
- Gugatan Perceraian/ cerai gugat
diajukan kepada Pengadilan tempat kediaman tempat penggugat, kecuali apabila
penggugat dengan sengaja meninggalkan kediamannya bersama tanpa ijin tergugat.
III. SURAT KUASA KHUSUS
A. Kuasa Pada Umumnya
1. Pengertian Kuasa Secara Umum.
Pasal
1792 KUH Perdata sebagai berikut :
Pemberian kuasa adalah suatu persetujuan dengan mana seorang memberikan
kekuasaan kepada seorang lain, yang menerimanya, untuk dan atas namanya
menyelenggarakan suatu urusan.
Dalam perjanjian kuasa terdapat dua pihak, yaitu :
- Pemberi Kuasa/ Latsgever/ instrucilon/ mandate.
- Penerima Kuasa/ Kuasa/ yang diberi
perintah atau mandate melakukan sesuatu untuk dan atas nama pemberi kuasa.
2. Sifat Perjanjian Kuasa.
Pasal
1792 dan 1793 (1) BW terdapat beberapa sifat pokok, yaitu :
a. Penerima kuasa langsung berkapasitas sebagai wakil
pemberi kuasa.
b. Pemberi kuasa bersifay konsensual.
c. Berkarakter garansi – kontrak Pasal 1806 BW.
3. Berakhirnya Kuasa – Pasal 1813 BW.
a. Pemberi kuasa mnarik kembali secara sepihak (diatur
lebih lanjut dalam Pasal 1814 BW dan 1819 BW).
b. Salah satu pihak meninggal dunia Pasal 1813 BW.
c. Penerima kuasa terlepas kuasa.
Pasal
1817 BW member hak secara sepihak kepada kuasa untuk melepaskan kuasa yang
diterimanya dengan syarat :
- Harus memberitahu kehendak
pelepasan itu kapada pemberi kuasa.
- Pelepasan hak tidak boleh
dilakukan pada saat yang tidak layak.
4. Dapat Disepakati Kuasa Mutlak.
Dalam lalu lintas pergaulan Hukum telah memperkenalkan dan membenarkan
pemberian kuasa mutlak, perjanjian kuasa seperti ini diberi judul “Kuasa
Multak” yang memuat klausul :
-
Pemberi
kuasa tidak dapat mencabut kembali kuasa yang memberikan kepada penerima kuasa.
- Meninggalnya pemberi kuasa, tidak
mengakhiri perjanjian pemberi kuasa.
Diperbolehkannya membuat persetujuan Kuasa mutlak bertitik tolak dari
prinsip kebebasan berkontrak ( Pasal 1338, sepanjang tidak bertentangan dengan
Pasal 1337 BW).
B. Macam-macam Surat Kuasa
1. Kuasa umum
diatur Pasal 1795 BW, menurut Pasal ini, kuasa umum bertujuan memberikan kuasa
kepada seorang untuk mengurus kepentingan pemberi kuas, yaitu :
-
Melakukan
tindakan pengurusan harta kekayaan mandate.
-
Pengurusan
itu, meliputi segala sesuatu yang berhubungan dengan pemberi kuasa atas harta
kekayaannya.
-
Dengan
demikian titik berat kuasa umum, hanya meliputi perbuatan atau tindakan
pengurusan kepentingan pemberi kuasa.
2. Kuasa
Istimewa
Pasal 1796 BH mengatur perihal pemberi kuasa istimewa, selanjutnya
ketentuan pemberian kuasa istimewa dapat dikaitkan dengan ketentuan Pasal 157
HIR dan Pasal 184 RBg. Jika ketentuan pasal-pasal ini dirangkai diperlukan
beberapa syarat yang harus dipenuhi agar kuasa tersebut sah menurut Hukum
sebagai kuasa Hukum istimewa.
a. Bersifat limitative.
b. Harus berbentuk akta otentik.
3. Kuasa
Perantara.
Pasal 1792 BW dan Pasal 62 KUHD yang dikenal dengan agen perdagangan atau
makelar, disebut juga broker atau perwakilan dagang.
4. Kuasa
Khusus (Pasal 123 HIR & Pasal 147 RBg serta SEMA No.01/1971).
Pasal 123 HIR atau Pasal 147 RBg dan SEMA No.01/1971, mengatur berbagai
hal yang terkait dengan Surat Kuasa Khusus tersebut misalnya :
-
Surat
kuasa khusus dapat dibuat secara dibawah tangan atau secara otentik.
-
Surat
kuasa khusus harus menyebutkan identitas pemberi dan penerima kuasa.
-
Harus
menyebutkan nomer perkara, bila sudah ada.
-
Pengadilan
mana dan dimana.
-
Perihal
apa dan untuk apa surat kuasa diberikan.
-
Bila ada
rekonvensi dalam surat kuasa harus sudah menyebut dengan tegas.
-
Harus
menyebut subyek dan obyek.
-
Harus
bermaterai secukupnya.
-
Dll.
IV. GUGATAN DAN PERMOHONAN
A. Gugatan Kontentiosa/ Gugatan
Perdata/ Gugatan/ Gugat.
1. Pengertian
Gugatan Kontentiosa adalah gugatan perdata yang mengandung sengketa
diatara pihak yang berperkara yang pemeriksaan penyelesaiannya diberikan kepada
pengadilan dengan posisi para pihak :
- Yang mengajukan penyelesaian
sengketa disebut dan bertindak sebagai penggugat.
- Sedangkan yang ditarik sebagai
pihak lawan dalam penyelesaian disebut dan berkedudukan sebagai tergugat.
- Permasalahan Hukum yang diajukan
ke Pengadilan mengandung sengketa.
- Sengketa terjadi diantara para
pihak.
- Berarti gugatan perdata bersifat
partai.
2. Bentuk Gugatan.
a. Bentuk
lisan (Pasal 120 HIR/ Pasal RBg).
Syarat formil gugatan lisan : bila penggugat tidak bisa membaca dan
menulisan.
Cara pengajuan gugatan lisan :
- Diajukan dengan lisan
- Kepada Ketua PN dan
- Menjelaskan dan menerangkan isi
dan maksud gugatan.
Fungsi Ketua PN
- Ketua PN wajib memberikan layanan.
- Pelayanan yang harus diberikan
Ketua PN.
- Mencatat dan menyuruh catatan
gugatan yang disampaikan penggugat.
- Merumuskan sebaik mungkin gugatan
itu dalam bentuk tertulis sesuai dengan yang diterangkan oleh penggugat.
Sehubungan dengan ini Ketua PN pperlu diperhatikan putusan MA tentang ini
yang menegaskan “adalah tugas Hakim Pengadilan Negeri untuk menyempurnakan
gugatan tulisan tersebut dengan jalan melengkapinya dengan petitum, sehingga
dapat mencapai apa sebetulnya yang dimaksud dengan opeh Penggugat.
b. Bentuk
Tulisan.
Gugatan yang paling diutamakan adalah gugatan dalan bentuk tertulis.
(Pasal 118 ayat 1 HIR, Pasal 142 RBg dan yang berhak dan berwenang membuat dan
mengajukan gugatan perdata adalah :
- Penggugat sendiri (Pasal 118 ayat
1 HIR)
- Kuasa/ wakil (Pasal 123 ayat 1
HIR)
3. Formulasi Surat Gugatan
a. Ditujukan kepada Ketua PN sesuai
dengan kopetensi relative.
b. Diberi tanggal
c. Ditandatangani oleh penggugat atau
kuasa.
d. Identitas para pihak.
- Nama lengkap.
- Alamat/ tempat tinggal
- Penyebutan identitas lain tidak
imperative.
e. Alamat/ tempat tinggal.
Mengenai
perumusan Posita gugatan muncul 2 teori yaitu :
(1) Substcntierings Theorie : dalil dugagatan tidak cukup hanya merumuskan
peristiwa Hukum yang menjadi dasar tuntutan, tetapi juga harus dijelaskan
fakta-fakta yang mendahului peristiwa Hukum yang menjadi penyebab timbulnya
peristiwa Hukum tersebut.
(2) Teori Individualisasi (individualisering theorie) : peristiwa atau kejadian Hukum
yang dikemukakan dalam gugatan, harus dengan jelas memperlihatkan hubungan
Hukum yang menjadi dasar tuntutan, namun tidak perlu di kemukakan dasar dan
sejarah terjadinya hubungan Hukum, karena hal itu dapat diajukan berikutnya
dalam proses permeriksaan sidang pengadilan.
Unsur Fundamentum Petendi/ Posita
Gugatan :
(1) Posita berdasarkan fakta.
(2) Posita berdasarkan Hukum.
f.
Petitum
Gugatan : hal-hal yang diminta agar diputuskan oleh hakim.
Bentuk
Petitum sebagai berikut :
(1) Bentuk tunggal
Petitum
yang hanya menyantumkan mohon keadilan atau ex-acquo (mohon keadilan)
-
Tidak
memenuhi syarat formil dan meteriil Petitum.
-
Akibat
hukumnya, gugatan dianggap mengandtng cacat formil, sehingga gugatan harus
dinyatakan tidak diterima.
(2) Bentuk Alternatif
4. Tata Cara Pemeriksaan Gugatan Kontentiosa.
a. Sistem Pemeriksaan Secara
Contradictoir
1. Dihadiri
oleh kedua belah pihak secara in person atau kuasa.
2. Proses
pemeriksaan berlangsung secara optegnspraak
proses pemeriksaan perkara berlangsung dengan saling sanggah menyanggah baik
dalam bentuk replik-duplik maupun konklusi.
b. Asas Pemeriksaan.
1. Mempertahankan
tata Hukum perdata. Hakim berperan dan bertugas untuk menegakkan kebenaran dan
keadilan.
2. Menyerahkan
sepenuhnya kewajiban mengemukakan fakta dan kebenaran kepada para pihak.
3. Tugas
hakim menemukan kebenaran formil.
4. Persidangan
terbuka untuk umum.
5. Aiudi
Alterem Partem ( Pemeriksaan persidangan harus mendengar kedua
belah pihak secara seimbang).
6. Asas
Imparsialitas
Mengandung pengertian luas yaitu :
-
Tidak
memihak.
-
Bersikap
jujur dan adil.
-
Tidak
bersikap diskriminatif.
5. Pengecualian Terhadap Acara pemeriksaan Contradictoir
a. Dalam
proses Verstek.
b. Gugatan
gugur.
6. Pencabutan Gugatan (Pasal 271-272 RV)
a. HIR dan
RBg. Tidak mengatur pencabutan gugatan.
b. Pencabutan
gugatan merupakan hak penggugat
1. Pencabutan mutlak hak penggugat
selama pemeriksaan belum berlangsung.
2. Atas persetujuan tergugat apabila
pemeriksaan telah berlangsung.
c. Cara
pencabutan
1. Yang berhak melakukan pencabutan
adalah penggugat sendiri secara pribadi atau kuasanya.
2. Pencabutan gugatan yang belum
diperiksa dilakukan dengan surat.
3. Pencabutan gugatan yang sudah
diperiksa dilakukan dalam sidang.
7. Komulasi Gugatan/ Penggabungan Gugatan.
1. Pengertian
Kumulasi gugatan adalah penggabungan lebih dari satu tuntutan hukuk
kedalam satu gugatan.
2. Tujuan
penggabungan Gugatan.
a. Mewujudkan peradilan sederhana.
b. Menghindari putusan yang saling
bertentangan.
3. Syarat
Penggabungan.
a. Terdapat hubungan erat.
b. Terdapat hubungan Hukum.
4. Bentuk Penggabungan.
a. Kumulasi subyektif
b. Kumulasi Obyektif
5. Pengabungan
yang tidak dibenarkan :
a. Pemilik obyek gugatan berbeda.
b. Gugatan yang digabungkan tunduk
pada Hukum acara yang berbeda.
c. Gugatan tunduk pada kompetensi absolute
yang berbeda.
d. Gugatan rekonvensi tidak ada
hubungan dengan gugatan kovensi.
6. Penggabungan
gugatan cerai dengan pembagian harta bersama diataur dalam Pasal 86 (1) UU
No.7/1989, dalam hal ini diperkenankan.
A, B, dan C menggugat DEF dalam hal warisan juga ternyata DEF punya
hutang bersama pada A, B, dan C dalam hal ini, komulasi gugat diperkenankan.
Penggugat (A) bertindak sebagai wali dan anaknya yang belum dewasa
menggugat (B), kemudian digabungkan dengan gugatan mengenai utang pribadi (B)
kepada (A), dalam hal ini komulasi gugat tidak diperkenankan.
8. Perubahan Gugatan.
a. HIR tidak
mengatur, sehingga Hakim leluasa menentukan. Sebagai patokan dapat dipergunakan
ketentuan bahwa perubahan atau penambahan gugat diperkenankan asalkan
kepentingan penggugat terutama tergugat jangan sampai dirugikan.
b. MA dalam
putusannya tanggal 6 Maret 1971 No. 209 K/SIP/1970 menentukan bahwa suatu
perubahan tuntutan tidak bertentangan dengan asas-asas Hukum secara perdata,
asalkan tidak merubah atau menyimpang dari kejadian meteriil walaupun tidak ada
tuntutan subsidair untuk peradilan yang adil, terutama dalam yurisprudensi
Indonesia, penerbit I, II, III, IV.1972 hal. 470 MA RI.
c. Perubahan
gugatan dilarang dilarang apabila berdasar atas keadaan Hukum yang sama domohon
pelaksanaan suatu hak yang lain. Misalnya :
1. Semula dimohon ganti rugi berdasar
ingkar janji gugat dirubah, berdasar ingkar janji agar tergugat dipaksa untuk
memenuhi janjinya.
2. Semula dasar gugatan perceraian
adalah peryizinahan, kemudian dirubah dasar gugatan menjadi keretakan yang
tidak dapat diperbaiki.
d. Penggugat
berhak merubah atau mengurangi tuntutannya sampai saat perkara diputus, tanpa
boleh merubah atau menambah pokok gugatannya (pasal 127 RV).
e. Yurisprudensi
No. 1043 K/SIP/1971, Perubahan surat gugatan diperbolehkan asal tidak
mengakibatkan perubahan Posita dan tergugat tidak dirugikan haknya membela
diri.
B. Gugatan Rekonvensi
1. Pengertian Gugatan Rekonvensi.
Pasal 132 ayat (1) HIR hanya memberikan pengertian singkat. Maknanya
menurut pasal ini adalah sebagai berikut :
-
Rekonvensi adalah gugatan yang diajukan
tergugat sebagai gugatan balasan terhadap gugatan yang diajukan penggugat
kepadanya, dan
-
Gugagatan Rekonvensi itu, diajukan tergugat kepada PN,
pada saat berlangsung proses pemeriksaan gugatan yang diajukan penggugat;
Contoh :
A
menggugat B untuk menyerahkan tanah yang telah dibelinya dari B sesuai dengan
transaksi jual beli yang dibuat di PPAT. Terhadap gugatan itu Pasal 032 ayat
(1) HIR member hak kepada B mengajukan gugatan rekonvensi terhadap A untuk
melunasi pembayaran yang masih tersisa ditambah ganti rugi bunga atas perbuatan
Wanprestasi yang dilakukannya.
2. Komposisi Para Pihak Dihubungkan
Dengan Gugatan Rekonvensi.
Dalam keadaan normal, komposisi para pihak dalam gugatan biasa terdiri
dari :
-
Pengugat
sebagai pihak yang berinisiatif mengajukan gugatan.
-
Tergugat
sebagai pihak yang ditarik dan di dudukan sebagai orang digugat.
-
Gugatan
hanya tunggal derdiri dari gugatan yang diajukan penggugat saja.
-
Oleh
karena itu dasar dan landasan pemeriksaan perkara, di sidang pengadilan
sepenuhnya bertitik tolak dari gugatan penggugat tersebut.
a. Komposisi Gugatan.
Dengan adanya gugatan rekonvensi, komposisi gugatan menjadi :
1. Gugatan penggugat disebut gugatan
rekonvensi yang bermaksa sebagai gugatan asal yang ditunjukan penggugat kepada
tergugat.
2. Gugatan tergugat disebut gugatan
rekonvensi yang bermakna gugatan balik yang ditujukan tergugat kepada tergugat.
b. Komposisi Para Pihak.
Selain muncul dan saling berhadapan gugatan konvensi dan rekonvensi,
serta merta hal itu menimbulkan komposisi yang menempatkan para pihak dalam
kedudukan :
-
Penggugat
asal sebagai penggugat Konvensi pada saat yang bersamaan berkedudukan menjadi
Tergugat Rekonvensi terhadap gugatan Rekonvensi.
-
Penggugat
asal sebagai Tergugat Rekonvensi pada saat yang bersamaan berkedudukan sebagai
Tergugat Konvensi.
c. Gugatan Rekonvensi Bersifat
Eksepsional.
1. Prinsip Umum gugatan adalah :
setiap gugatan yang diajukan seseorang kepada orang lain, memiliki sifat
individual yang terpisah dan berdiri sendiri dari gugatan yang lain.
Pasal 121 (1) HIR atau Pasal 1 Rv :
-
Setiap
gugatan di register dan diberi nomer terdiri oleh Panitera dalam buku yang
disediakan untuk itu;
-
Pendaftaran
perkara dalam buku register dilakukan dengan tertib dan cermat dengan
mencantumkan seluruh data gugatan yang bersangkutan.
-
Selanjutnya
Ketua PN atau Ketua Majelis menentukan hari sidang pemeriksaan perkara dengan
jalan memanggil para pihak.
2. Gugatan Rekonvensi
mengenyampingkan ketentuan Pasal 121 (1) tersebut diatas, hal ini bisa dilihat
dati ketentuan Pasal 132a HIR memberikan hak kepada tergugat melakukan komulasi
gugatan Rekonvensi dengan gugatan konvensi dalam proses pemeriksaan gugatan
perkara yang sedang berjalan :
-
Mengajukan
gugatan Rekonvensi sebagai gugatan balik atas gugatan penggugat, dan
-
Gugatan
Rekonvensi itu dikomulasi Tergugat dengan gugatan konvensi penggugat.
d. Tujuan Gugatan Rekonvensi.
-
Menegakkan
Asas Peradilan Kesederhanaan.
-
Menghemat
biaya dan waktu.
e. Syarat Materiil Gugatan Rekonvensi.
1. Undang-undang Tidak Mengatur Syarat
Materiil.
Tidak ada ketentuan syarat materiil, Pasal 132a HIR hanya berisi
penegasan, bahwa :
-
Tergugat
dalam setiap perkara berhak mengajukan gugatan Rekonvensi;
-
Tidak
disyaratkan antara keduanya mesti mempunyai hubungan yang erat atau koneksitas
yang substansial.
2. Praktek Peradilan cenderung
masyarakat koneksitas
Gugatan Rekonvensi baru dianggap sah dan dapat diterima untuk diakumulasi
dengan Konvensi apabila terpenuhi syarat :
-
Terdapat
factor pertautan hubungan mengenai dasar Hukum dan kejadian yang relevan antara
gugatan konvensi dan Rekonvensi.
-
Hubungan
pertautan itu harus sangat erat sehingga penyelesaiannya dapat dilakukan secara
efektif da;a, satu proses dan putusan.
f. Syarat Formil Gugatan Rekonvensi
1. Gugatan
Rekonvensi di formulasi secara tegas ;
2. Yang
dianggap ditarik sebagai tergugat Rekonvensi hanya terbatas Penggugat Konvensi
:
-
Yang dapat
ditarik senbagai tergugat.
-
Tidak
mesti menarik semua penggugat Konvensi.
-
Dilarang
menarik sesame tergugat Konvensi menjadi tergugat Rekonvensi.
3. Gugatan
Rekonvensi diajukan bersama-sama dengan jawaban.
Pasal
132b (1) HIR Berbunyi : “Tergugat wajib mengajukan gugatan
melawan bersama-sama dengan menjawabnya baik dengan surat maupun dengan lisan”
Terhadap makna “jawaban” telah terjadi perbedaan pendapat yaitu :
a. Rekonvensi wajib diajukan
besama-sama dengan jawaban pertama.
-
Membolehkan
atau member kebabasan bagi tergugat mengajukan gugatan Rekonvensi diluar jawaban
pertama dapat menimbulkan kerugian bagi penggugat dalam mebela hak dan
kepentingannya.
-
Selain itu
membolehkan tergugat mengajukan gugtan Rekonvensi melampaui jawaban pertama
dapar menimbulkan ketidak lancaran pemeriksaan dan penyelesaian perkara.
-
Rasio yang
terkandung dalam pembatasan pengajuan mesti pada jawaban pertama agar tergugat
tidak sewenang-wenang dalam mempergunakan haknya mengajukan gugatan Rekonvensi.
b. Batas pengajuan Gugatan Rekonvensi
sampai tahab pembuktian.
Hal ini sejalan dengan putusan MA No. 239 K/SIP/1968, menurut putusan
tersebut gugatan Rekonvensi dapat diajukan selama proses jawab menjawab
berlangsung. Karena Pasal 132b (1) dan Pasal 158 RBg, hanya menyebut jawaban,
sendangkan replik, duplik juga merupakan jawaban meskipun bukan jawaban
pertama, demikian pula putusan MA No.642 K/SIP/1972, bahwa atas pengajuan
gugatan rekonvensi masih terbuka sampai dimasukinya tahap proses pemeriksaan
saksi, pembahasan yang demikian disepakati oleh Prof. Soedikno Martokusumo.
Yaitu apabila proses pemeriksaan telah memasuki tahap pembuktian tergugat tidak
dibenarkan mengajukan gugatan rekonvensi.
g. Larangan Mengajukan Gugatan
Intervensi.
1. Larangan mengajukan gugatan
Rekonvensi kepada diri orang yang bertindak berdasarkan suatu kualitas ( Pasal
132a (1) HIR.
2. Larangan mengajukan gugatan Rekonvensi diluar
Yuridiksi PN yang memeriksa perkara. Pasal 118 (1) dan (3) HIR.
3. Larangan mengajukan gugatan
Rekonvensi terhadap exsekusi pasal 132a (1) ke-3 HIR dan pasal 379Rv.
4. Larangan mengajukan gugatan
Rekonvensi pada tingkat banding Pasal 132a (2) HIR dan putusan MA No.1250
K/Pdt/1986.
5. Larangan mengajukan gugatan
Rekonvensi pada tingkat kasasi Putusan MA No. 209 K/SIP/1970.
C. Gugatan Intervensi
Proses dengan tiga pihak/ ikut sertanya pihak ketiga dalam suatu proses
(Pasal 279-282 Rv)
1.
Voeging.
Jika pihak ketiga itu mau membela atau mengabungkan diri ke salah satu
pihak yang sedang berperkara.
2.
Tussenkomst
Jika pihak ketiga itu tidak memihak salah satu pihak, melainkan membela
kepentingannya sendiri terhadap penggugat dan tergugat.
3.
Vrijwaring.
Penarikan pihak ketiga dalam suatu proses untuk menanggung, supaya
tergugat dapat bebas dari penuntutan yang merugikan.
Cara Mengajukan Gugatan Intervensi :
1.
Mengajukan
permohonan kepada majelis agar diperkenankan mencampuri proses tersebut dan
dinyatakan ingin menggabungkan diri kepada salah satu pihak (voging) (Retno Wulan, SH. Hal.48).
2.
Pihak
pemohon intervensi datang dipersidangan lalu dengan lisan atau tulisan
mengemukakan kehendaknya untuk mencampuri perkara tersebut sebagai pihak
ketiga. (Subekti, SH. Hal. 71)
3.
Gugatan
intervensi diajukan kepada pihak ketiga kepada Ketua Pengadilan dengan melawan
pihak yang sendang bersengketa/ ikut salah satu pihak dengan menunjuk no,
tanggal perkara yang dilawan seperti gugatan biasa tanpa membayar biaya perkara
dan tidak diberi nomer baru (Mukti Arti. Hal. 109)
D. Gugatan Class Action/ Gugatan
Perwakilan Kelompok.
Perma
No.1/2002 Tanggal 26 april 2006.
1.
Pengertian
Class Action
-
Suatu tata
cara pengajuan gugatan yang dilakukan satu orang atau lebih.
-
Orang itu
bertindak mewakili kelompok (CR) untuk diri sendiri dan sekaligus mewakili
anggota kelompok (class members).
-
Antara
yang mewakili kelompok dengan kelompok yang diwakili memiliki kesamaan fakta
dan dasar Hukum.
Pasal 1 huruf a PERMA No.1/2002.
2.
Tujuan
GPK/ CA/ RA.
-
Mengembangkan
penyederhanaan akses masyarakat memperoleh keadilan.
-
Mengefektifkan
efisiensi penyelesaian pelanggaran Hukum yang merugikan orang banyak.
3.
Syarat
Formil CA/ RA
a. Ada
kelompom (Class)
Ø Perwakilan kelompok.(Class Action).
Ø Anggota kelompok (class members)
b. Kesamaan
fakta atau dasar Hukum.
c. Kesamaan
jenis tuntutan.
4.
Konsep Hak
Gugatan LSM berbeda dengan Class Action
a. Konsep CA
Berdasarkan commanality.
Landasan utama konsep CA adalah asas atau syarat commonality yaitu
prinsip kesamaan yang berkenaan dengan fakta dan dasar hokum dan kesamaan
tuntutan hokum. Atau lazim juga disebut kesamaan kepentingan (same interest)
kesamaan penderitaan (same grievence) dan kesamaan tujuan sam purpose) .
Agar dasar kesamaan (mononality) dapat ditegakkan, diperlukan
factor-faktor yang menjadi landasannya yang disebut unsure CA.
5.
Formulasi
gugatan CA
a. Persyaratan
umum berdasarkan Ketentuan HIR dan RBG.
-
Mencantumkan
dan mengalamatkan gugatan berdasarkan kopetensi relative (yudiksi relative)
sesuai dengan system dan patokan yang digariskan pasal 118 HIR.
Mencantumkan tanggal
pada gugatan